Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemenangan Ferdinand Marcos Jr. bisa membawa dampak buruk bagi politik Indonesia.
Indonesia memiliki kemiripan sejarah politik dengan Filipina.
Budaya patronase telanjur tumbuh subur dalam sistem politik di Indonesia.
KEMENANGAN Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. dalam pemilihan Presiden Filipina adalah kabar buruk bagi kehidupan demokrasi di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Terpilihnya anak diktator Ferdinand Marcos itu dimungkinkan dengan penyebaran kabar bohong yang menutupi fakta kekejaman dan korupsi ayahnya pada 1965-1986.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa Filipina memiliki sejarah politik yang mirip dengan Indonesia: sama-sama pernah dipimpin seorang diktator. Sementara Filipina selama 20 tahun dipimpin Marcos, Indonesia “dikuasai” Soeharto selama 32 tahun. Keduanya terguling lewat gerakan “people power”. Soeharto, sebagaimana Marcos, masih memiliki barisan loyalis hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekam jejak Marcos sungguh buruk. Ia dan keluarganya dituding menggelapkan uang negara sebanyak US$ 10 miliar saat berkuasa. Pengadilan sudah menghukum Marcos dengan membayar denda US$ 353,6 juta karena tuduhan korupsi. Tapi uang itu tak pernah disetorkan ke negara. Istrinya, Imelda Marcos, divonis tujuh tahun penjara pada 2018, juga karena tuduhan rasuah. Sejarah juga mencatat kekejaman Marcos yang memerintahkan pembunuhan 3.200 rakyatnya sendiri.
Tapi dosa-dosa ini dianggap angin lalu oleh para pendukung Marcos Jr. Selama masa kampanye, tim kampanye Bongbong memproduksi informasi sesat dan video propaganda lewat media sosial yang menyatakan ekonomi Filipina maju pesat saat dipimpin ayahnya. Yang tak kalah buruk, ia memfitnah lawan terkuatnya, Leni Robredo, pengacara hak asasi manusia dan aktivis demokrasi, dengan menudingnya sebagai antek komunis.
Hal yang sama bisa merembet ke Indonesia. Sebagian penduduk Indonesia kerap menyuarakan kerinduan pada “tangan dingin” Soeharto. Mereka beralasan perekonomian di masa Orde Baru lebih baik ketimbang sekarang. Namun mereka melupakan fakta bahwa Soeharto berada di balik pembantaian ratusan ribu orang pada 1965-1966 dan belasan operasi militer lain saat dia berkuasa. Transparency International pada 2004 menahbiskan Soeharto sebagai presiden terkorup dunia dengan perkiraan korupsi sebesar US$ 15-25 miliar, lebih besar ketimbang Marcos.
Pemilihan presiden di Indonesia tinggal dua tahun lagi. Prabowo Subianto, bekas menantu Soeharto, hampir dipastikan maju lagi sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya. Strategi buruk Marcos Jr. berpotensi dicontek Prabowo. Pada pemilihan sebelumnya, Keluarga Cendana—sebutan untuk anak dan kerabat Soeharto—sudah dengan terbuka mendukung pencalonan Prabowo dan meyakini Prabowo akan mengembalikan periode “zaman keemasan” sang Smiling General.
Faktor lain yang juga perlu diwaspadai adalah tak rasionalnya sebagian pemilih di Indonesia. Ini diperparah oleh suburnya budaya patronase di masyarakat kita pasca-reformasi. Kemunculan banyak dinasti politik di berbagai daerah, meski sebagian kemudian tersangkut kasus korupsi, cukup menjadi alasan untuk khawatir pada masa depan demokrasi kita. Presiden Joko Widodo bahkan ikut memberikan contoh buruk dengan mengantarkan anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, menjadi wali kota.
Jika tak waspada, kita bisa bernasib seperti Filipina. Itu sebabnya, pendidikan sejarah di sekolah perlu menegaskan berbagai pelanggaran HAM dan korupsi di era Orde Baru. Pengawasan atas konten media sosial juga perlu diperketat agar tak ada kampanye hitam yang bisa mengelabui publik. Jangan sampai Indonesia kembali jatuh ke tangan diktator.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo