Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suryaputra Wijaksana
Master of Public Policy Graduate Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun depan, ekonomi Cina diprediksi masih menjadi sumber atau lokomotif pertumbuhan global. Hal itu didorong oleh penguasaan Cina terhadap teknologi “hijau” yang sedang digandrungi dunia dan akses ke energi Rusia yang kian murah. “Gencatan senjata” antara Cina dan Amerika Serikat di sela-sela KTT G20 di Bali pada November lalu juga mengurangi adanya kemungkinan konflik militer langsung di antara kedua negara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kembali bangkitnya Cina juga akan menggerakkan negara-negara Asia lainnya, seperti India, Bangladesh, Vietnam, dan Indonesia. Ini berkebalikan dengan kebanyakan negara maju, seperti Amerika dan Eropa, yang diprediksi masuk jurang resesi yang mungkin cukup dalam. Namun rencana Cina untuk kembali membuka diri ini kembali menghadapi berbagai rintangan.
Rintangan yang paling penting adalah turunnya kepercayaan bisnis dan konsumen Cina, yang sebagian besar diakibatkan oleh kebijakan “zero Covid-19” Cina yang ketat. Kebijakan ini membatasi mobilitas masyarakat dan mencekik ekonomi yang bergantung pada manufaktur.
Rintangan lain yang tak kalah penting adalah krisis di bisnis properti, tempat sebagian besar kekayaan rakyat tersimpan dan telah menjadi fondasi pertumbuhan perekonomian Cina. Pertumbuhan sektor properti yang fenomenal selama bertahun-tahun ini menyebabkan spekulasi yang kian agresif untuk menjadi ketergantungan pemasukan pemerintah daerah. Kolapsnya bubble property menghilangkan kekayaan dan menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Beberapa waktu lalu, demonstrasi meletup di beberapa kota besar di Cina sebagai protes atas ketatnya aturan Covid-19. Ini mencerminkan bahwa masyarakat tak tahan lagi dengan kebijakan karantina (lockdown) yang berkepanjangan dan memburuknya perekonomian Cina. Ketidakstabilan politik Cina dapat mencoreng modal politik yang telah dikonsolidasikan Presiden Xi Jinping dalam Kongres Nasional Partai Komunis pada Oktober lalu.
Tidak ada penyelesaian yang sederhana bagi rintangan ini. Seperti sebuah puzzle, pembuat kebijakan harus melihat dengan hati-hati ketika menyusun sebuah rencana dan mengeksekusinya dengan efektif. Kebijakan “zero Covid-19” kemungkinan besar masih akan diterapkan, walaupun dengan pelonggaran untuk kembali memicu aktivitas ekonomi. Meski menanggung malu, Cina sebenarnya dapat mengimpor vaksin RNA buatan Amerika dan Eropa untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya.
Penyelesaian krisis properti juga tak kalah rumit. Kebijakan yang paling efektif, yakni bail out pemerintah di sektor properti, kemungkinan besar tak dijalankan karena moral hazard. Justru pemerintah kemungkinan besar akan mencoba kembali mendorong ekonomi tanpa memicu lagi bubble property. Belum lama ini, bank sentralnya, People's Bank of China, telah mengeluarkan stimulus yang cukup besar dengan mengurangi reserve requirement (simpanan minimum di bank sentral) dan meningkatkan suntikan likuiditas ke sistem perbankan. Mandat politik Presiden Xi yang kian kuat setelah Kongres Nasional Partai Komunis Cina menjadi modal yang penting untuk arah kebijakan Cina ke depan.
Sementara itu, perkembangan global didikte oleh bank sentral Amerika, The Fed, yang kemungkinan besar akan mulai memperlambat laju pengetatan moneternya. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif telah menekan perekonomian Amerika ke ujung resesi. Namun The Fed juga menyadari bahwa penyebab utama inflasi Amerika adalah kelangkaan komoditas yang berada di luar kekuasaannya. Mulai November ini, ada kemungkinan The Fed akan meningkatkan suku bunga hanya 50 basis point, di bawah kebiasaannya 75 basis point. Kemungkinan The Fed melonggarkan kebijakan moneter (pivot) paling cepat terjadi pada pertengahan 2023.
Bagi ekonomi Indonesia, penyelesaian rintangan pemulihan Cina akan sangat penting dan berdampak pada prospek perekonomian setahun ke depan. Pemulihan ekonomi Cina akan mendorong kenaikan harga komoditas yang termasuk menjadi andalan Indonesia, yakni batu bara dan bijih mineral. Ini akan meningkatkan ekspor komoditas. Sementara itu, ekspor barang manufaktur ke negara Barat terancam anjlok akibat resesi global. Permintaan yang tertahan (pent-up demand) dari Cina juga dapat meningkatkan jumlah turis Cina yang meloncong ke Indonesia. Ketertarikan global yang kian tinggi untuk kendaraan listrik, dengan Cina sebagai produsen utama, juga dapat meningkatkan investasi asing di sektor pertambangan Indonesia yang berkaitan dengan kendaraan listrik, seperti tambang nikel untuk bahan baterai.
Semua ini akan berdampak positif bagi konsumsi domestik Indonesia, yang telah menurun akibat kenaikan harga bahan bakar minyak pada September lalu. Nilai tukar rupiah yang stabil dapat berkontribusi dalam pengendalian inflasi impor, yang penting untuk sektor manufaktur. Rupiah yang kuat akan memberi Bank Indonesia ruang untuk memperlambat pengetatan moneternya. Ini akan menggenjot sentimen konsumen, yang juga menurun akibat efek kenaikan inflasi. Investasi dari Cina juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru, baik secara langsung maupun tak langsung.
Eksposur Indonesia pada perekonomian Cina yang relatif tinggi, baik dari perdagangan maupun investasi, juga akan meningkatkan daya tarik aset finansial Indonesia. Aliran modal asing ke pasar modal dan surat berharga negara bakal kian deras seiring dengan perlambatan pengetatan moneter The Fed. Ini berpotensi menurunkan imbal hasil surat berharga negara dan menurunkan pembiayaan defisit anggaran pemerintah yang dipatok maksimal 3 persen PDB pada 2023. Bagi pemerintah Indonesia, hal ini akan sangat penting karena kemungkinan akan ada peningkatan alokasi untuk bantuan sosial bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ataupun alokasi untuk infrastruktur yang tertunda.
Sementara itu, penguasaan Cina akan teknologi hijau dapat menguntungkan perekonomian dalam jangka menengah dan panjang. Hal tersebut akibat munculnya aglomerasi industri jenis ini di Sulawesi dan daerah lainnya yang dapat mendorong economies of scale serta mendongkrak produktivitas industri Indonesia. Selain itu, divergensi rantai pasok global dan dominasi ekonomi Cina di kawasan Asia akan mendorong posisi Indonesia di rantai pasok global. Usaha-usaha Cina untuk meningkatkan internasionalisasi mata uang RMB sebagai mata uang perdagangan dapat mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika dan meningkatkan likuiditas RMB di luar Cina.
Tak kalah penting adalah dampak pulihnya kerja sama global antara Cina dan Amerika. Ini berarti hegemoni Amerika untuk sementara masih terjaga dan Cina tidak akan bertindak secara agresif. Di sektor finansial, kerja sama global juga sangat penting untuk mencegah kemungkinan kekurangan likuiditas mendadak yang dapat memicu krisis utang global. Bagi Indonesia, krisis likuiditas akan sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi karena ketergantungan pada dolar Amerika untuk pembiayaan investasi dan kegiatan ekspor-impor.
Indonesia sekarang berada di posisi yang cukup baik dibanding negara lainnya yang menuju resesi. Pemulihan perekonomian Cina dapat memicu perekonomian Indonesia dan mendorongnya ke posisi yang lebih “mulia” di rantai pasok global dan tatanan ekonomi global. Namun ini bukan waktu untuk bersantai. Pemerintah harus tetap berdisiplin dan kredibel, terutama dalam independensi bank sentral dan disiplin fiskal. Gelombang PHK harus segera ditangani dan produktivitas industri ditingkatkan. Lebih penting dari itu, penanganan korupsi harus digalakkan. Hanya dengan begitu, posisi Indonesia yang lebih mulia dapat dicapai.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo