Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Polisi-TNI Jadi Penjabat Gubernur

MASA transisi pemilihan kepala daerah serentak semestinya tidak menyeret tentara dan polisi lebih jauh ke politik praktis. Pemerintahan Joko Widodo harus menghapus rencana penempatan perwira kepolisian dan militer sebagai pengisi sementara kursi gubernur mulai tahun depan.

27 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Editorial Koran Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Keputusan menunjuk polisi dan TNI aktif menjadi penjabat gubernur membahayakan supremasi sipil.

  • Rencana ini bisa menghidupkan kembali dwifungsi TNI.

  • Dalih transisi hanya masalah teknis pemilihan.

MASA transisi pemilihan kepala daerah serentak semestinya tidak menyeret tentara dan polisi lebih jauh ke politik praktis. Pemerintahan Joko Widodo harus menghapus rencana menempatkan perwira kepolisian dan militer sebagai pengisi sementara kursi gubernur mulai tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2016 sepakat menyatukan pemilihan kepala daerah dengan pemilihan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2024. Wilayah yang periode pemimpinnya berakhir pada 2022 dan 2023 akan dipimpin penjabat kepala daerah. Ada tujuh gubernur yang akan berakhir masa jabatannya tahun depan, dan 13 gubernur pada tahun berikutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Dalam Negeri membuka opsi untuk mengisi posisi itu dari perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia. Benni Irwan, juru bicara kementerian itu, berdalih penunjukan serupa sudah dilakukan sebelumnya. Rencana itu jelas akan menarik demokrasi kembali ke masa lalu serta melanggar sejumlah aturan.

Pada pemilihan kepala daerah 2018, Presiden Joko Widodo mengabaikan kritik dengan mengangkat sejumlah petinggi kepolisian menjadi penjabat sementara karena gubernur inkumben mencalonkan diri. Di Jawa Barat, pemerintah menempatkan Komisaris Jenderal Mochammad Iriawan. Di Sulawesi Barat, ada Inspektur Jenderal Carlo Brix Tewu.

Berbeda dengan pada 2018, penjabat sementara gubernur kali ini akan mengisi posisi itu selama satu hingga dua tahun. Artinya, mereka akan menjalankan fungsi layaknya pejabat definitif, termasuk menyusun anggaran dan formasi pemerintahannya. Di sinilah bahaya penempatan perwira kepolisian dan militer.

Kepala daerah hasil pemilihan langsung adalah simbol supremasi sipil dan merupakan produk utama reformasi. Sejumlah perwira kepolisian dan militer yang kini memimpin daerah pun melalui proses pemilihan langsung, serta harus melepaskan status aktif mereka untuk menghindari konflik kepentingan. Dalih transisi, yang merupakan persoalan teknis pemilihan, sepatutnya tidak melanggar prinsip supremasi sipil itu.

Pengisian penjabat gubernur dari kalangan TNI dan polisi aktif menabrak sejumlah aturan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 201 menyebutkan bahwa posisi itu ditunjuk dari jabatan pimpinan tinggi madya, yang merupakan aparat sipil negara. Pasal 20 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengatur anggota TNI dan polisi hanya bisa menempati instansi pusat. Gubernur tidak memenuhi prasyarat itu.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri juga mengharuskan anggotanya mengundurkan diri jika menduduki jabatan di luar kepolisian. Di era Jokowi, ketentuan itu memang tidak dipenuhi. Iriawan, misalnya, tak harus mengundurkan diri ketika menjabat gubernur sementara Jawa Barat.  

Secara politis, penunjukan perwira TNI dan polisi bisa menimbulkan syak wasangka. Sebab, pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden akan berlangsung pada tahun yang sama. Penempatan polisi dan tentara yang memiliki rantai komando bisa saja dicurigai bermotif politik untuk pengamanan suara. Apalagi, provinsi tempat terdapat empat posisi gubernur yang akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 adalah lumbung suara, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Belakangan, banyak gejala penggunaan aparat sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan. Misalnya aparat yang melakukan tindakan represif terhadap kelompok-kelompok kritis. 

Presiden Jokowi, yang memenangi pemilihan pada 2014 dengan dukungan kelompok masyarakat sipil, seharusnya tetap menjaga amanat reformasi. Tentara dan polisi semestinya tetap dijauhkan dari politik praktis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus