Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bawalah Nunun ke Meja Hijau

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSIDANGAN skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia menyisakan banyak tanda tanya. Hakim belum juga bisa mendatangkan Nunun Nurbaetie, yang selalu mangkir meski tiga kali dipanggil dengan alasan berobat di Singapura akibat terkena penyakit lupa permanen. Padahal dialah yang diduga menyalurkan cek pelawat Rp 24 miliar.

Mendadak sontak muncul saksi kunci lain. Dialah Suhardi Suparman alias Ferry Yen, ”pemilik” 480 cek pelawat ini. Ternyata pria yang disebut sebagai pengusaha sawit ini wafat pada 2007. Padahal peran Ferry penting untuk mengungkap kenapa dia tiba-tiba meminta pembayaran atas penjualan kebun sawitnya kepada PT First Mujur Plantation dengan cek pelawat. Dari mendiang seharusnya diketahui mengapa pula akhirnya cek-cek itu mengalir ke tangan para anggota Dewan.

Pengakuan Ferry—seandainya saja dia masih hidup—bisa dikonfrontasikan dengan keterangan Direktur PT Wahana Esa Sejati, Arie Malangjudo, yang mengaku diminta Nunun mengantar cek-cek itu. Lalu bagaimana pula kisah cek Ferry sampai ke Nunun. Wajar jika terkesan ada upaya sistematis untuk memutus mata rantai penyuapan ini dengan cara membelokkan skenario melalui tokoh Ferry yang telah wafat.

Dari sidang pengadilan memang sudah bisa diketahui dugaan aliran dana itu. Sebanyak 41 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 memperoleh gelontoran dana senilai Rp 24 miliar dalam bentuk cek pelawat. Pemberian ini diduga berkaitan dengan terpilihnya Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

Cek itu diserahkan oleh Arie Malangjudo. Arie—salah satu bekas eksekutif PT Wahana Esa Sejati, perusahaan milik Nunun—mengaku disuruh Nunun. Penyerahan juga dilakukan di kantor istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun itu di Jakarta Pusat. Namun anehnya, mengapa cek pelawat yang dikeluarkan Bank Internasional Indonesia atas permintaan Bank Artha Graha itu persis sama dengan cek yang dibayarkan PT First Mujur Plantation—salah satu anak perusahaan Grup Artha Graha—kepada Ferry dalam transaksi jual-beli lahan sawit seluas 5.000 hektare di Sumatera Utara.

Posisi Nunun dan Ferry sangat penting meski keduanya hanya sebagai perantara. Tapi, karena keduanya tak bisa bersaksi, otomatis aliran dana itu putus dan hanya kepentok pada empat anggota DPR tadi. Jaksa mestinya mengorek keterangan para saksi lain yang tak kalah penting. Selain Budi Santoso, mantan Direktur Keuangan First Mujur, semestinya jaksa memanggil Hidayat Lukman alias Teddy Uban, bos PT First Mujur.

Hidayat penting karena dialah yang memerintah Budi membayarkan transaksi bisnisnya dengan Ferry. Dari Hidayat, juga Budi, mestinya bisa dikorek perihal kesamaan cek antara yang dibayarkan First Mujur dengan cek yang diserahkan Arie kepada anggota DPR. Apa pula kaitan antara Nunun dan First Mujur. Hidayat bisa dimintai konfirmasi mengapa Ferry meminta pembayaran lewat traveller’s cheque dengan nomor seri yang sama dengan yang masuk ke kantong anggota Dewan.

Jaksa tak boleh susut untuk memanggil Hidayat yang masih dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, untuk operasi kanker sumsum tulang belakang. Dari Teddy Uban ini bisa pula dicek ihwal sosok Ferry, yang namanya tak dikenal di kalangan pemain sawit di Sumatera Utara. Selain itu, rada tak lazim jika transaksi Rp 24 miliar dilakukan dengan cek pelawat.

Hakim tak boleh mudah menyerah menghadapi pelbagai upaya untuk mengaburkan dalang penyuapan ini. Persidangan juga tak boleh terhenti dengan hanya menghukum empat anggota DPR yang kini menjadi terdakwa. Skandal suap ini harus mampu menjerat bukan saja para penerima cek haram tadi, melainkan juga aktor utamanya, termasuk yang menjadi perantara.

Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya juga tak hanya berhenti dan puas setelah menuntut empat terdakwa tersebut. Ingat, yang menerima cek pelawat 41 anggota DPR. Komisi tak usah gentar meski yang akan dijerat menyangkut nama-nama besar—antara lain Paskah Suzetta dan Panda Nababan. Semua orang berkedudukan sama di mata hukum, dan Komisi mestinya segera menuntaskan kesemua penerima cek, tanpa terkecuali.

Aneh juga kalau sampai kini Nunun tak segera dikenai status tersangka. Padahal kuat dugaan bahwa lewat Nununlah cek tersebut mengalir. Kalau Nunun saja susah disentuh, jangan harap skandal rasuah ini mampu menjerat biang keladinya. Kejelasan perkara ini tentu juga diharapkan oleh Miranda Goeltom, yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan ”proyek Miranda” ini. Pengusutan kasus ini takkan ada artinya jika Nunun, atau siapa pun sang aktor intelektual, gagal dibawa ke persidangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus