Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mudah mematahkan kemenangan Anggodo Widjojo dalam kasus praperadilan atas penghentian penuntutan perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Kejaksaan sudah mengajukan permohonan banding, tapi kemungkinan kedua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu dibawa ke meja hijau masih terbuka. Seandainya pengadilan banding menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka Bibit dan Chandra harus segera diadili karena dituduh menyalahgunakan wewenang ketika mencekal Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, kakak Anggodo.
Tanpa peluru yang lebih ”berisi”, kejaksaan bisa-bisa kembali menelan kekalahan. Kejaksaan mesti menghindari pengulangan argumen yang dipakai untuk menghentikan perkara Bibit-Chandra. Alasan yuridis yang pernah dikemukakan, bahwa perkara ditutup demi hukum kendati berkasnya telah dinyatakan lengkap alias P-21, mungkin bisa diterima. Tapi alasan sosiologis, yakni suasana kebatinan saat itu serta kepentingan menjaga harmonisasi antarpenegak hukum, tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita dan karena itu ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kita tahu, di tingkat banding, hakim hanya memeriksa berkas—untuk memastikan putusan hakim Jakarta Selatan sesuai atau bertentangan dengan undang-undang. Fokus pemeriksaan tentulah ihwal keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan kasus Bibit-Chandra oleh kejaksaan.
Di pengadilan banding, hakim diharapkan memberikan pertimbangan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atas keluarnya surat ketetapan. Bisa dipertimbangkan, misalnya, dengan keluarnya surat tersebut, Bibit-Chandra akan lebih berkonsentrasi memberantas kejahatan korupsi yang sudah sangat membahayakan negara itu. Demi memenuhi keinginan masyarakat luas untuk membersihkan korupsi, hakim di pengadilan banding semestinya melakukan terobosan hukum dengan menolak semua usaha yang bisa menghambat kinerja KPK. Pembatalan surat penghentian penuntutan Bibit-Chandra bisa dianggap salah satu bentuk hambatan untuk KPK itu.
Terobosan hukum pernah dilakukan sebelumnya. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Jakarta yang dipimpin Benjamin Mangkoedilaga dengan berani ”mengesampingkan” peraturan Menteri Penerangan yang memberikan kekuasaan untuk melakukan pembredelan atas majalah Tempo pada 1994. Benjamin berpandangan pembredelan tak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hakim Asikin Kusumaatmadja juga pernah memberikan putusan menyimpang dari hukum acara perdata dalam kasus Kedung Ombo—yang diresmikan Presiden Soeharto pada 1981. Ia menolak pengakuan pemerintah daerah Jawa Tengah bahwa rakyat sekitar waduk bersepakat menerima ganti rugi berdasarkan musyawarah. Asikin berpandangan bahwa musyawarah—dalam kasus yang sarat intimidasi ini—tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil. Asikin kemudian menetapkan angka ganti rugi jauh di atas peraturan pemerintah.
Hakim di pengadilan banding nanti mestinya mencontoh keberanian Benjamin dan Asikin. Pandangan bahwa hakim sekadar ”corong undang-undang” sudah ketinggalan zaman. Toh, harus disadari, tak ada yang bisa memastikan putusan hakim banding nanti.
Seandainya upaya banding kejaksaan kandas di pengadilan tinggi, Jaksa Agung perlu menggunakan kewenangan yang melekat padanya: melakukan deponir, mengesampingkan perkara ini demi kepentingan umum. Kalau deponir yang dulu dipilih, dan bukan surat ketetapan penghentian penuntutan, soal ini tak akan seheboh sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo