Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melibatkan kepala daerah sebagai anggota tim kampanye dan diizinkan mempromosikan kandidat presiden yang mereka dukung akan mencederai demokrasi. Sistem pemilihan dengan suara terbanyak ini mensyaratkan asas keadilan bagi para kandidat dan pemilih.
Dalam pemilihan presiden kali ini, sebagian besar gubernur, bupati, atau wali kota menjadi juru kampanye bagi Joko Widodo, calon inkumben. Menjadi anggota tim kampanye salah satu kandidat membuat para kepala daerah ini tidak imparsial, tak independen, bahkan lebih dekat pada penyelewengan jabatan.
Kepala daerah jelas mendapat fasilitas istimewa—seperti peng-amanan dan akses—yang melekat pada pribadinya selama 24 jam. Meskipun cuti di luar tanggungan, mereka tetap mendapat pengawalan dan memakai segala fasilitas publik saat berkampanye.
Pangkal soal kekacauan ini adalah Undang-Undang Pemilihan Umum dan aturan Komisi Pemilihan Umum yang membolehkan kepala daerah menjadi bagian tim kampanye. Dua aturan itu ha-nya melarang kepala daerah menjadi ketua tim kampanye. Alasannya agar tak mengganggu tugas mereka sebagai abdi negara.
Dengan alasan yang sama, semestinya menjadi anggota tim pun tetap mengganggu tugas pengabdian para kepala daerah itu kepada negara. Setidaknya mereka harus cuti, berhenti menjadi pelayan masyarakat, ketika berkampanye untuk calon presiden yang didukungnya. Berkampanye memang menjadi hak politik tiap orang. Hanya, hak ini menimbulkan mudarat jika digunakan kepala daerah karena mereka harus meninggalkan kewajiban melayani- masyarakat.
Potensi penyalahgunaan wewenang lain dari kelonggaran ini adalah tiap calon presiden inkumben akan memakainya sebagai alat politik untuk menekan dan menakut-nakuti kepala daerah. Sadar akan keistimewaan akses para kepala daerah yang tak terbatas itu, siapa pun calon inkumben akan menekan kepala daerah agar menyokongnya. Tawar-menawarnya bisa berupa kasus pidana yang mungkin menjeratnya—karena presiden berkuasa atas kepolisian dan kejaksaan—atau tawaran jabatan bagi mereka yang pensiun setelah pemilihan usai.
Agar demokrasi berjalan jujur dan adil, keterlibatan kepala daerah dalam kampanye pemilihan presiden seharusnya dilarang. Kepala daerah semestinya pula tak boleh memanfaatkan jabatannya buat mendukung kandidat presiden. Ulah Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni yang menyerahkan bantuan negara kepada pegawai negeri dan tokoh masyarakat di Sumatera Barat dengan meng-atasnamakan Jokowi, pekan lalu, adalah contoh nyata penyalahgunaan wewenang di musim pemilihan presiden.
Karena mengubah aturan lewat revisi ataupun uji materi undang-undang memerlukan waktu, kini harapan satu-satunya adalah Badan Pengawas Pemilu. Lembaga ini mesti memelototi penggunaan fasilitas pemerintah oleh kepala daerah selama masa kampanye. Bawaslu bisa menggunakan pasal 280 ayat 1-h mengenai larangan menggunakan fasilitas pemerintah dalam kampanye.
Aturan itu bisa menjerat kepala daerah dan pejabat publik yang menyalahgunakan fasilitas pemerintah dalam berkampanye. Pelanggar ketentuan ini diancam hukuman paling lama dua tahun penjara.
Bawaslu mesti berusaha keras memerangi penyalahgunaan fasilitas publik oleh kepala daerah akibat aturan kampanye yang longgar. Dengan cara ini, kampanye pemilihan presiden bisa berlangsung lebih adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo