Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo semestinya segera memproses hukum kasus kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Rumoh Geudong dan pos militer lain di Aceh. Bukti yang disodorkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah lebih dari cukup untuk menyeret para pelaku ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
Laporan Komnas HAM yang telah diserahkan ke Kejaksaan Agung menunjukkan sisi gelap operasi militer 1989-1998 di Aceh. Lembaga itu menemukan kejahatan kemanusiaan: dari penangkap-an sewenang-wenang, pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Tragedi ini berpusat di Rumoh Geudong, sebuah rumah khas Aceh, di Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang pernah digunakan sebagai pos militer sekaligus tempat penyiksaan.
Salah seorang saksi korban bahkan mengalami serangkaian penyiksaan: dipaksa telanjang, lalu diserang organ kemaluannya. Saksi lain melihat ada orang yang dikubur hidup-hidup atau digantung. Perlakuan biadab dialami pula oleh penduduk sipil yang dipaksa mengaku sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ada yang dituduh memiliki ikatan keluarga dengan anggota gerak-an ini, dicap sebagai simpatisan, atau dianggap mengetahui keberadaan anggota GAM. Padahal mereka adalah petani, pekebun, atau ibu rumah tangga biasa.
Kasus Rumoh Geudong jelas memenuhi kriteria pelanggar-an HAM berat, khususnya kejahatan kemanusiaan, seperti diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Komnas HAM pun menyimpulkan penyiksaan dan pembunuhan itu dilakukan sistematis. Operasi dilakukan di bawah satu rantai komando, dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hingga komandan lapangan, yang melibatkan pasukan Kopassus. Seluruh kegiatan operasi dilaporkan kepada Panglima Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan.
Kejahatan kemanusiaan itu menimbulkan banyak korban. Sebanyak 74 perempuan diduga diperkosa. Setidaknya 109 penduduk sipil disiksa. Sembilan orang terbunuh di Rumoh Geudong dan delapan orang tidak pernah kembali ke keluarganya hingga sekarang.
Kejaksaan Agung tidak terlalu sulit menuntaskan kasus itu karena Komnas HAM telah mengumpulkan bukti permulaan yang cukup kuat. Sejumlah dokumen dan kesaksian mantan Komandan Komando Resor Militer 011/Lilawangsa soal operasi militer memperkuat testimoni korban dan temuan Komisi Nasional. Keterangan korban juga sesuai satu sama lain. Dengan temuan ini, Kejaksaan bisa segera memeriksa semua pelaku, termasuk Panglima ABRI saat itu sebagai pembuat kebijakan operasi.
Presiden Joko Widodo semestinya segera bertindak. Ia harus memastikan Jaksa Agung mengusut kasus Rumoh Geudong. Hasil pengusutan Kejaksaan ini menjadi bekal mendapatkan rekomendasi parlemen untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Mekanisme itu pernah dilakukan dalam membongkar kasus pelanggaran hak asasi di Timor Leste.
Jangan sampai tragedi Rumoh Geudong menguap begitu saja seperti kasus pelanggaran hak asasi yang lain. Kasus seperti tragedi 1965, Trisakti, serta Semanggi I dan II yang sudah diusut Komnas HAM hingga kini mangkrak karena pemerintah tidak peduli. Selama era pemerintahan Jokowi, belum satu pun hasil kerja keras Komnas HAM dibawa ke pengadilan.
Presiden Jokowi harus membuktikan komitmennya mengusut kasus pelanggaran hak asasi seperti yang ia janjikan di masa kampanye Pemilihan Umum 2014. Tanpa adanya pengadilan HAM, kerabat korban dan saksi korban tragedi Rumoh Geudong akan terkungkung dalam nestapa tanpa mendapat rehabilitasi dan kompensasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo