Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK berkepanjangan antara masyarakat adat dan perusahaan sawit tak perlu terjadi jika pemerintah dapat menjadi wasit yang baik. Memelihara iklim bisnis yang sehat untuk industri sawit tentu baik-baik saja. Tapi mengabaikan hak-hak publik, yang dirugikan pengusaha, tentu akan mendatangkan banyak mudarat.
Konflik belasan tahun terjadi antara Grup Wilmar dan warga Nagari Maligi, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Inti perkara adalah soal penguasaan lahan. Masyarakat merasa tanah adat dirambah, pengusaha membantahnya. Ada pula soal tudingan main mata pengusaha dengan sebagian tokoh: upaya meredam konflik dengan memberi kompensasi kepada segelintir orang. Sayangnya, alih-alih mendudukkan perkara dengan jernih, penegakan hukum jalan di tempat. Berlarut-larut, konflik ini rawan meletup menjadi konflik sosial.
Pemerintah terlihat lunak kepada perusahaan sawit nakal. Banyak pengusaha yang merambah hutan yang terlarang buat perkebunan, termasuk menerabas tanah adat. Tak bisa ditolak, sawit adalah sumber devisa. Pada 2017, ekspor sawit mencapai Rp 314 triliun, atau 14 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Tingginya ekspor itu membuat Indonesia bergantung pada bisnis tersebut.
Tapi perkebunan ilegal tentu tak boleh dibiarkan. Saat ini ada jutaan hektare kebun sawit ilegal yang diperkirakan masih berproduksi. Dari 11,7 juta hektare jumlah kebun sawit di Indonesia saat ini, ratusan ribu hektare di antaranya dibuka dengan merambah hutan.
Pelanggaran itu terjadi di depan mata selama bertahun-tahun. Jika memiliki niat baik, sebetulnya tak sulit mengecek status kebun-kebun ilegal itu, lalu menyeret pelakunya ke pengadilan. Komisi Pemberantasan Korupsi sebetulnya sudah melakukan investigasi atas pelanggaran hukum di sektor ini. Sayangnya, tindakan mereka baru sebatas memberi rekomendasi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik.
Negara didera dua kerugian jika kebun-kebun ilegal itu terus dibiarkan. Pertama, pemerintah akan kehilangan penerimaan pajak karena kebun itu tak pernah dilaporkan. Kedua, kebun-kebun ilegal itu merusak hutan dan ekosistem.
Sawit adalah tanaman yang rakus air. Dalam sehari, satu pohon sawit menyedot 20-40 liter air. Jumlah ini hampir dua kali lipat tanaman lain, seperti kopi dan kakao. Satwa-satwa pun ikut terusir karena habitatnya tergusur sawit.
Malaysia adalah contoh negara yang berhasil menjaga hutannya dari serbuan kebun sawit. Untuk menjaga hutannya, negeri jiran itu membatasi lahan sawit hanya 6 juta hektare. Kebijakan inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan sawit Malaysia agresif membuka kebun di negara lain, termasuk Indonesia.
Indonesia tak perlu malu meniru Malaysia. Pemerintah Malaysia mendukung industri sawit tanpa harus mengorbankan rakyat. Perkebunannya pun jauh lebih unggul karena terus-menerus mengembangkan varietas unggul. Kebun sawit Indonesia memproduksi 4 ton tandan sawit segar per hektare. Malaysia menghasilkan minimal 10 ton per hektare. Konflik antara pengelola kebun dan masyarakat pun nyaris tak pernah terdengar.
Pemerintah Indonesia harus bersiaga. Ada 659 konflik agraria pada 2017 yang sebagian besar berhubungan dengan kebun sawit. Jika tak saksama diurus, konflik itu akan terus menjadi bom waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo