Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi terus menghadapi badai besar sepanjang tahun lalu hingga kini. Ancaman bergantian antara lain berupa usaha pengerdilan oleh Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat, kurang tegasnya pemerintah dalam melindungi eksistensi KPK, dan serangan terhadap sejumlah penyidik senior.
Meski begitu, ancaman terberat sesungguhnya berada di dalam komisi antikorupsi itu sendiri, yakni perpecahan internal parah. Kepemimpinan Agus Rahardjo gagal mengkonsolidasikan kekuatan anak buahnya. Konflik bahkan menjadi terbuka ketika Direktur Penyidikan Aris Budiman memenuhi undangan Panitia Khusus meski secara lembaga KPK belum mengakui keabsahan organ ad hoc Dewan itu.
Kerusakan berawal pada kepemimpinan sementara Taufiequrachman Ruki-ia ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi pelaksana tugas KPK pada 2015 menggantikan Abraham Samad, yang diberhentikan setelah menjadi korban kriminalisasi oleh kepolisian. Ruki menempatkan personel kepolisian di sejumlah posisi kunci, antara lain Inspektur Jenderal Heru Winarko sebagai Deputi Penindakan dan Brigadir Jenderal Aris Budiman sebagai Direktur Penyidikan. Pelantikan Heru pada 15 Oktober 2015 dihadiri Luhut B. Pandjaitan, ketika itu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Jaksa Agung M. Prasetyo; hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Penempatan pejabat era Ruki memantik konflik kelompok ini dengan para penyidik internal. Kini Agus Rahardjo memiliki kesempatan membenahi kerusakan itu. Bulan lalu, Heru meninggalkan posisinya setelah dilantik menjadi Kepala Badan Nasional Narkotika. Adapun untuk Aris Budiman disiapkan "jalan damai" keluar dari KPK. Ia sebenarnya telah dinyatakan melanggar berat kode etik karena datang ke Senayan. Pimpinan KPK tidak segera mengembalikan Aris ke Kepolisian RI, tapi menyiapkan penggantinya dengan menggelar seleksi bersamaan dengan lelang jabatan Deputi Penindakan.
Ada sepuluh kandidat Deputi Penindakan, tiga dari kepolisian dan tujuh dari Kejaksaan Agung. Tidak ada calon internal; diduga karena persyaratan jabatan ini cukup berat, antara lain pernah menjadi direktur atau kepala biro, berpengalaman dalam penyidikan atau intelijen, dan berusia minimal 45 tahun. Untuk calon Direktur Penyidikan, kepolisian mengirim tiga calon. Beberapa personel internal KPK mengikuti seleksi jabatan pos ini.
Sudah semestinya Agus Rahardjo mengumumkan para calon pengisi pos terpenting KPK itu. Publik perlu dilibatkan untuk meneliti riwayat semua calon, termasuk komitmen mereka terhadap penindakan perkara korupsi selama ini. Dengan demikian, kandidat terpilih nanti benar-benar bebas dari kepentingan kelompok dan berfokus mengungkap kasus-kasus korupsi besar.
Sepanjang tahun lalu, KPK menyelidiki 123 kasus dan menyidik 182 kasus-termasuk 61 yang merupakan kasus tunggakan tahun sebelumnya. Lembaga itu banyak melakukan "operasi tangkap tangan", terutama para kepala daerah. Namun KPK meninggalkan beberapa kasus yang mangkrak cukup lama. Sebut saja dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit quay container crane di PT Pelindo II dengan tersangka Richard Joost Lino serta pengadaan mesin Rolls-Royce dan pesawat Airbus di PT Garuda Indonesia dengan tersangka Emirsyah Satar.
Selain terus menjalankan "operasi tangkap tangan", komisi antikorupsi semestinya mengungkap lebih banyak kasus korupsi besar dengan dampak luas. Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan yang mumpuni dan bebas kepentingan akan membuat misi itu bisa terlaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo