Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan membentuk bursa perdagangan karbon pada Juni ini.
Pembentukan bursa ini sebagai bagian dari pengembangan dan penguatan keuangan.
Masalahnya, sertifikat karbon yang dapat diperdagangkan masih minim.
Rio Christiawan
Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akan membentuk bursa karbon pada Juni ini dan membukanya pada September mendatang. Pemerintah menunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat aturan mengenai bursa tersebut. Pembentukan bursa karbon memang harus dilakukan bila pemerintah ingin memenuhi target kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC), yang diajukan Indonesia untuk mengatasi krisis iklim sebagai bagian dari kesepakatan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (UNFCCC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia memiliki modal perdagangan karbon yang besar, seperti luasnya wilayah hutan dan mangrove, sehingga potensi karbonnya berlimpah. Dari penjelasan Richard A. Posner dalam Economic Analysis of Law (2011), eksistensi aturan dan sikap pemerintah menjadi dasar penting bagi keputusan perekonomian. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, sudah hampir pasti Indonesia dapat memenuhi target NDC pada 2029 karena stok karbon yang cukup untuk diperdagangkan.
Dasar hukum pembentukan bursa karbon di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dalam hal ini, OJK ditunjuk sebagai regulator karena bursa karbon merupakan amanat aturan di sektor pengembangan dan penguatan keuangan.
Pada Mei lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan kertas posisi “Indonesia: Perdagangan Karbon Luar Negeri Tidak tertutup tapi Diatur Secara Sistematis”. Kertas posisi tersebut menerangkan bahwa perdagangan karbon terbuka, baik melalui bursa maupun non-bursa, sepanjang itu sesuai dengan aturan.
Kertas posisi itu ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023 tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerja Sama Karbon. Jika mengacu pada kertas posisi dan surat edaran ini, jelas bahwa satuan karbon yang dapat diperdagangkan adalah yang tertera pada sertifikat penurunan emisi.
Kertas posisi itu juga menyatakan sertifikat penurunan emisi karbon nantinya menjadi alat tukar bernilai moneter. Artinya, dasar perdagangan karbon, baik melalui bursa maupun perdagangan non-bursa, adalah sertifikat penurunan emisi yang menjadi unit karbon terverifikasi (VCU), kredit karbon yang sudah diverifikasi Verra—organisasi sertifikasi karbon berbasis di Amerika Serikat yang paling diakui saat ini. VCU dapat dialihkan secara legal melalui kesepakatan pembelian unit karbon terverifikasi (VCUPA) atau kesepakatan pembelian penurunan emisi (ERPA) yang dapat dilakukan secara langsung (dari pengembang proyek kepada pembeli akhir) atau melalui perantara dengan mekanisme dari pengembang proyek melalui pedagang, yang akan menjual kepada pembeli akhir, ataupun perdagangan di bursa karbon.
Sertifikat penurunan emisi yang dapat diperdagangkan melalui bursa bisa diperoleh melalui berbagai mekanisme, seperti pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU); pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU); serta mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang sudah terdapat dalam sistem registrasi nasional. Dengan begitu, perdagangannya dapat diotorisasi sehingga dipastikan perdagangan karbon tersebut riil.
Pemerintah menargetkan akan membuka bursa karbon pada September mendatang. Masalahnya, hingga saat ini, jumlah pemilik sertifikat penurunan emisi yang terdaftar dalam sistem registrasi nasional masih sangat terbatas.
Indonesia perlu belajar dari Skema Perdagangan Emisi Korea (KETS), bursa karbon Korea Selatan, yang pada akhirnya hanya dibuka dua hari dalam seminggu dengan jam perdagangan terbatas karena masih sangat terbatasnya jumlah karbon yang diperdagangkan di bursa. Pada akhirnya, KETS tidak optimal sehingga tak mampu membentuk harga acuan karbon sebagai komoditas.
Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa jumlah karbon yang tersedia pada masing-masing sertifikat karbon mencukupi ketika bursa karbon dibuka. Pembukaan bursa memerlukan koordinasi antar-instansi, misalnya OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup—instansi penerbit sertifikat penurunan emisi dan otorisasi perdagangan karbon.
Masalah lain adalah, setelah peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang nilai ekonomi karbon berlaku, implementasi mekanisme otorisasi masih sangat jarang. Padahal perdagangan karbon melalui bursa juga perlu diotorisasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan harga acuan perdagangan karbon yang valid dan kompetitif sehingga ada insentif menarik baik bagi pemegang sertifikat karbon ataupun pedagang dan pembeli untuk bertransaksi di bursa.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo