Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gejolak ekonomi dunia ditandai dengan krisis perbankan global.
Pemulihan ekonomi Cina juga diprediksi lebih kecil.
Indonesia masih tampak tangguh dalam menghadapi gejolak ini.
Suryaputra Wijaksana
Ekonom Bank BRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejolak ekonomi global akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan dan perlu diwaspadai, terutama kemungkinan dampaknya terhadap Indonesia. Ada tiga hal yang perlu dicermati, yakni pemulihan ekonomi Cina, krisis perbankan global, dan ketatnya kebijakan moneter Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemulihan ekonomi Cina diprediksi lebih kecil dari sebelumnya akibat terbatasnya prospek stimulus dari anggaran pemerintah. Pemulihan ini diprediksi lebih banyak didorong oleh pemulihan konsumsi domestik dan bukan pemulihan cepat di sektor properti serta konstruksi yang menjadi andalan negara itu selama 50 tahun ini.
Pemulihan yang lebih kecil dan suplai energi global yang masih cukup melimpah akibat pasokan dari Australia serta negara-negara lain menekan harga logam industri dan batu bara yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia. Sementara itu, impor diprediksi masih cukup tinggi seiring dengan berlanjutnya proyek investasi asing dan pemerintah. Hal ini berpotensi menghasilkan neraca dagang yang netral dan cenderung defisit.
Krisis perbankan global yang kian bergejolak telah mengancam stabilitas perekonomian global. Kolapsnya beberapa bank di Amerika Serikat yang diikuti oleh Credit Suisse di Swiss, yang merupakan bank sistemik global, menyebabkan pengetatan pasar uang global. Tercatat pada pekan lalu institusi finansial di Amerika meminjam US$ 153 miliar kepada Federal Reserve untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Ini merupakan angka tertinggi sejak krisis finansial global pada 2008-2009.
Upaya Bank Sentral Swiss menggabungkan UBS dan Credit Suisse menyebabkan pemegang surat utang Coco, jenis surat utang yang menjadi modal dalam keadaan tertentu, dari Credit Suisse menderita kerugian cukup besar. Hal ini menyebabkan ketakutan akan menyebarnya krisis perbankan tersebut ke kawasan Asia karena instrumen Coco ini cukup lazim digunakan di sini. Hal ini menyebabkan harga saham beberapa bank besar Asia bergejolak.
Adapun keadaan industri perbankan domestik relatif aman terhadap terpaan krisis perbankan global seiring dengan tingkat permodalan yang tinggi dan didukung dengan cukupnya tingkat profitabilitas yang mengurangi risiko kejadian insolvency (ketidakmampuan badan membayar utang tepat waktu), salah satu akar penyebab kolapsnya Credit Suisse. Konsentrasi nasabah yang rendah, diversifikasi aset yang signifikan, dan eksposur industri perbankan pada industri spekulatif, seperti kripto serta perusahaan rintisan (startup), yang rendah menyebabkan kemungkinan kejadian seperti Bank Silicon Valley (SVB) cukup kecil. Instrumen Coco pun relatif jarang digunakan di pasar surat berharga Indonesia dan ini dibarengi dengan imbal surat berharga RI yang relatif stabil.
Selain itu, kebijakan moneter Amerika di tengah krisis perbankan global masih ketat. Di luar perkiraan awal pasar, Bank Sentral Amerika (The Fed) dan Bank Sentral Eropa sepertinya tidak akan mengubah kebijakan moneternya ke arah yang lebih longgar, yang diakibatkan oleh inflasi yang masih cukup tinggi di negara-negara maju. Hal ini ditunjukkan oleh respons The Fed dalam penyelamatan SVB, ketika The Fed tidak meluncurkan quantitative easing secara besar-besaran, melainkan melalui jalur yang lebih spesifik. Quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif merupakan kebijakan nonkonvensional bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar pada masa krisis dengan membeli aset atau surat berharga dari bank komersial atau swasta.
Hal ini menyebabkan kekhawatiran pasar akan kesulitan likuiditas dolar Amerika pada skala global. Namun, ini belum terjadi, yang ditunjukkan oleh nihilnya penggunaan swap line The Fed dengan bank sentral lain, seperti Bank Jepang, Bank Inggris, Bank Kanada, Bank Sentral Eropa, dan Bank Nasional Swiss, sejak peluncurannya beberapa hari lalu. Swap line adalah kesepakatan dua bank sentral untuk mempertukarkan mata uangnya.
Pengetatan likuiditas dolar Amerika secara global perlu diwaspadai oleh pemerintah dan sektor swasta. Surat utang luar negeri berdenominasi dolar Amerika yang jatuh tempo pada 2023-2024 diperkirakan sebesar US$ 60,5 miliar. Selain itu, terdapat kepemilikan asing di pasar saham dan surat berharga RI yang bersifat jangka pendek yang dapat menyebabkan aliran dana asing yang cukup besar. Suplai valas berpotensi menurun akibat penurunan harga dan permintaan ekspor RI akibat terbatasnya pemulihan Cina serta memburuknya ekonomi global.
Namun rupiah diprediksi masih cukup tangguh (resilient) di tengah gejolak ekonomi global yang makin kencang. Cadangan devisa Bank Indonesia masih berada di tingkat yang cukup tinggi (US$ 140 miliar) serta diperkuat dengan fasilitas swap line dengan Singapura dan Jepang. Pasar valas domestik juga makin tangguh. Data pasar valas domestik sebulan terakhir menunjukkan volume transaksi spot sebesar US$ 59,9 miliar, yang meningkat dibanding swap (US$ 23,5 miliar) dan terjadi penurunan proporsi transaksi swap 1 minggu (48,7 persen), yang menunjukkan keyakinan investor membaik dan terjadinya pendalaman pasar finansial domestik. Instrumen domestic non-deliverable forward (DNDF) juga telah menjaga ekspektasi nilai tukar rupiah.
Selain itu, inflasi Amerika yang relatif tinggi dapat meningkatkan real yields differentials aset Indonesia dan menarik kembali aliran modal asing setelah gejolak ekonomi global mereda. Pasar saham RI masih cukup menarik, seiring dengan prospek pertumbuhan domestik yang relatif masih baik.
Menghadapi ketidakpastian global yang makin bergejolak, Bank Indonesia kemungkinan besar akan mempertahankan kebijakan moneter yang konservatif, mempertahankan suku bunga acuan pada tingkat 5,75-6,00 persen untuk 2023 dengan memperhatikan arah kebijakan moneter The Fed selanjutnya. Kebijakan simpanan deposito (time deposit) devisa hasil ekspor (DHE) akan bermanfaat untuk memaksimalkan penerimaan valas di tengah prospek aliran dana asing yang belum menentu. Adapun kebijakan makroprudensial dapat terus mendukung akselerasi pertumbuhan kredit domestik.
Memburuknya kondisi perekonomian global dan efek dari pengetatan moneter Bank Indonesia akan sedikit memperlambat momentum pertumbuhan domestik. Namun hal ini masih bisa diantisipasi dengan kebijakan fiskal yang pro-pertumbuhan dan prudent (bijak), seperti percepatan proyek infrastruktur, dukungan yang terukur pada industri yang terkena dampak, serta distribusi bantuan sosial yang efektif dan tepat sasaran. Selain itu, strategi diversifikasi perdagangan ke India dan negara-negara Asia Selatan dapat mengimbangi terbatasnya permintaan dari Cina. Strategi komunikasi yang efektif penting untuk mempertahankan optimisme dan kepercayaan pelaku bisnis serta konsumen untuk terus bertahan di tengah gejolak global.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo