Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Negara-negara berkembang dan maju terus menyerukan dedolarisasi.
Dominasi dolar Amerika menyebabkan ketidakseimbangan global di neraca pembayaran.
Dedolarisasi akan menguntungkan Indonesia dalam jangka pendek.
Suryaputra Wijaksana
Ekonom BRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tren dedolarisasi menjadi semakin ramai dibicarakan di khalayak umum dan pemangku kebijakan. Kata "dedolarisasi" mengacu pada fenomena negara-negara di dunia untuk mengurangi ketergantungannya pada dolar Amerika Serikat, mata uang Amerika, untuk berbagai kegunaan, seperti alat penyimpan kekayaan, alat tukar, dan alat penghitung (store of value), kemudian beralih ke mata uang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seruan dedolarisasi oleh pemimpin negara-negara berkembang dan maju cukup wajar karena beban dari sistem keuangan global yang didominasi dolar Amerika kian tinggi. Dominasi dolar Amerika menyebabkan ketidakseimbangan global pada neraca pembayaran secara terus-menerus, dan Amerika harus terus menjalankan kebijakan defisit fiskal serta neraca berjalan untuk "memasok" dolarnya. Adapun negara-negara dengan kemampuan produksi yang besar, seperti Jerman dan Cina, harus mengakumulasi surplus neraca berjalan sementara untuk menstimulasi ekspor.
Masalah Sistem
Ketidakseimbangan global yang berlarut-larut ini mengandung beberapa masalah. Pertama, ketergantungan pada dolar menyebabkan model pembangunan global bergantung pada dana murah hasil quantitative easing dan tingkat utang yang kian tinggi. Kedua, "dilema Triffin". Pada 1960, ekonom Robert Triffin mengungkap masalah mendasar dalam sistem moneter internasional: jika Amerika menghentikan defisit neraca pembayaran, komunitas internasional akan kehilangan sumber tambahan cadangan terbesarnya. Dilema ini sering kali menyebabkan kebijakan moneter bank sentral Amerika, The Fed, kurang efektif bagi ekonomi Negeri Abang Sam dan global. Ketiga, bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki neraca berjalan (current account) defisit akibat kebutuhan investasi yang besar, hegemoni dolar menyebabkan ketergantungan pada aliran modal asing yang kian bergejolak (volatile).
Perkembangan-perkembangan baru, antara lain krisis debt ceiling (batas utang) di Amerika, hubungan Amerika yang memburuk dengan negara-negara lain, sikap Cina dan Rusia yang kian membangkang pada dominasi Amerika, serta masih tingginya inflasi global, menyebabkan berbagai pihak menilai hari-hari dominasi dolar akan segera berakhir. Saya berpendapat bahwa hal itu mungkin sulit terjadi.
Fundamental Dolar
Dolar Amerika masih memiliki fundamental yang relatif cukup kuat dibanding pesaing terdekatnya, euro dan yen. Uni Eropa dan Jepang merupakan importir energi yang mata uangnya cenderung tertekan jika harga energi meningkat. Sedangkan Amerika relatif independen karena produksi shale oil dan ladang minyak lepas pantai yang berlimpah. Ditambah harga energi yang didenominasikan dalam dolar menyebabkan peningkatan harga energi juga akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap mata uang ini.
Kedua, pasar surat berharga pemerintah Amerika masih tak terkalahkan. Investor di seluruh dunia tercatat telah memegang surat berharga senilai total US$ 24 triliun, jauh melebihi Jepang ataupun Cina yang didominasi investor domestik. Pasar surat berharga yang sangat dalam ini menciptakan sistem finansial yang sangat efisien dan menjadi acuan bebas risiko (risk free) di sistem finansial global. Hal ini juga menyebabkan dolar menjadi mata uang pilihan untuk menyelesaikan (settlement) utang luar negeri dan sering kali menjadi bahan utama cadangan devisa di kebanyakan negara.
Ketiga, The Fed masih cukup dipercaya oleh investor global. Walaupun The Fed telah membuat kesalahan di masa lalu, seperti prediksi mengenai inflasi tinggi yang sementara setelah Covid-19, ia selalu berusaha mempertahankan kredibilitasnya. Sebaliknya, bank sentral lain, seperti European Central Bank dan People’s Bank of China, sering membuat bingung investor karena arah kebijakannya berubah-ubah serta kontradiktif.
Selain itu, ada alasan geopolitik yang mendasar. Pada kenyataannya, negara-negara berkembang dan maju yang berkoar-koar untuk mengubah sistem finansial global yang berdasarkan dolar adalah negara-negara yang selama ini justru diuntungkan oleh dolar. Negara-negara produsen, seperti Rusia dan Brasil, mengakumulasi surplus neraca berjalan untuk mendorong ekspor serta pertumbuhan ekonomi.
Bila peran dolar diambil alih oleh mata uang lain, misalnya renminbi Cina, ia akan menyebabkan perekonomian tersebut memiliki neraca berjalan yang dalam. Hal ini akan menimbulkan tiga konsekuensi penting. Pertama, perilaku konsumen dan pemerintah harus berubah menjadi net spender dengan defisit fiskal yang sangat besar. Kedua, permintaan terhadap mata uang tersebut akan meningkat secara ekstrem, yang dapat menyebabkan ekspor tidak kompetitif. Ketiga, pasar modal negara tersebut, terutama surat berharga pemerintah, harus menjadi aset yang likuid. Saya melihat bahwa negara mana pun, termasuk Cina, kemungkinannya sangat kecil mengadopsi perubahan-perubahan besar dalam kebijakan dan perilaku konsumen dalam jangka pendek dengan biaya yang cukup tinggi ini.
Meskipun demikian, rekalibrasi perekonomian global untuk menjauh dari dominasi dolar diperlukan di masa depan. Ketidakseimbangan global menjadi semakin mendesak untuk ditangani seiring dengan konsekuensinya yang semakin besar. Tingkat utang global yang semakin tinggi, yang dibarengi dengan suku bunga Amerika yang tinggi, dapat memicu krisis utang global. Pengetatan kebijakan moneter Amerika yang terus-menerus dapat menyebabkan krisis likuiditas global akan sulit ditangani. Bagi Amerika sendiri, ketergantungan pada industri finansial menyebabkan tidak kompetitifnya ekspor manufaktur dan ketimpangan sosial yang menghambat kinerja pemerintahan.
Kemungkinan Solusi
Apa solusi yang mungkin? Bila menengok sejarah, kemungkinan besar solusi yang paling "damai" adalah konsensus global akan sebuah sistem penyelesaian transaksi (settlement) global yang dapat menyeimbangkan ketidakseimbangan global dan mengatur pergerakan mata uang negara-negara secara harmonis. Ini pernah diajukan oleh ekonom terkenal John Maynard Keynes setelah Perang Dunia II. Namun hal ini sulit terjadi pada saat ini, seiring dengan ketegangan geopolitik serta kompetisi negara adikuasa yang masih terus terjadi dan memperlemah kerja sama global.
Kemungkinan terbesar adalah penurunan dominasi dolar secara perlahan dan digantikan oleh sistem moneter multipolar. Hal ini sangat mungkin seiring dengan semakin pentingnya negara-negara berkembang dalam tatanan ekonomi global yang mendesakkan peran yang lebih besar untuk mata uangnya sendiri. Di Asia, perjanjian bilateral untuk swap, kesepakatan dua bank sentral untuk saling menukarkan mata uang mereka dalam jumlah yang ditentukan, semakin meningkat. Keuntungan utama transaksi swap adalah likuiditas instan tanpa perlunya jaminan (collateral) dan tanpa syarat-syarat ketat Dana Moneter Internasional (IMF).
Konsekuensi bagi Indonesia
Tren dedolarisasi ini akan berdampak positif bagi Indonesia. Pada jangka pendek, memudarnya permintaan terhadap dolar akan menyebabkan dolar melemah terhadap mata uang utama, termasuk rupiah. Ini akan berdampak memudarnya tekanan imported inflation serta rendahnya beban bunga utang luar negeri bagi pemerintah dan korporasi. Melemahnya dolar juga cenderung meningkatkan permintaan terhadap komoditas andalan serta sumber energi, terutama batu bara dan minyak kelapa sawit.
Pada jangka menengah dan panjang, dedolarisasi ada kemungkinan berdampak campuran (mixed). Fragmentasi sistem moneter global dan masa transisi kemungkinan besar diwarnai krisis finansial global yang diikuti inflasi yang tinggi. Ini dapat berdampak pada aliran modal asing yang kian bergejolak dan menekan rupiah, walaupun ditopang oleh nilai ekspor komoditas yang masih tinggi.
Mitigasi dari tren dedolarisasi ini sudah mulai dilaksanakan Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satu kebijakan yang akhir-akhir ini digencarkan adalah local currency settlement (LCS), ketika negara-negara Asia berusaha menyelesaikan transaksi (settlement) perdagangan menggunakan mata uang lokal. Ini menguntungkan pada beberapa aspek. Pertama, LCS mempercepat proses peluang pasar dan membiasakan pelaku pasar bertransaksi dalam mata uang selain dolar. Kedua, LCS juga meningkatkan likuiditas pasar keuangan non-dolar secara perlahan.
Di tingkat konsumen, Bank Indonesia bersama beberapa bank sentral negara ASEAN lain juga mendorong integrasi pembayaran regional dengan menggunakan QR code. Ini akan sangat bermanfaat bagi ekonomi regional, seperti meningkatkan efisiensi pembayaran, memperdalam pasar finansial dan peluang pasar, memberdayakan sektor informal, serta mengurangi aliran dana ilegal.
Kemungkinan besar kebijakan-kebijakan ini akan menghasilkan mata uang regional yang dominan yang menjadi alat bayar alternatif bagi kawasan Asia. Ini dapat menghasilkan kawasan yang lebih tangguh terhadap goncangan ekonomi global serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bersama.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo