Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUNGKAPAN jaringan Fredy Pratama menguatkan indikasi banyak anggota kepolisian menjadi bagian peredaran narkotik. Fredy berkongsi dengan bekas Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Resor Lampung, Komisaris Andi Gustami, yang menjadi kurir. Meski anak buah Fredy dengan 10 ton barang bukti narkotik sudah diringkus, gembong narkotik dan obat-obatan terlarang ini masih bebas berkeliaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan praktik baru. Pada Mei lalu, bekas Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, divonis penjara seumur hidup karena terlibat jaringan narkoba. Ia memerintahkan anak buahnya mengambil barang bukti sabu-sabu lalu menukarnya dengan tawas. Sabu itu kemudian dijual ke bandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas nama “darurat narkoba”, kekuasaan besar polisi memungkinkan mereka mengatur hukum dalam menanganinya. Bukan rahasia lagi aparat bisa berkongkalikong dengan para bandar kelas kakap sehingga mereka bisa bebas. Sebaliknya, polisi acap memeras para pencandu sebelum memberikan hak rehabilitasi.
Sejumlah negara mulai menggunakan perspektif kesehatan dan menerapkan kebijakan dekriminalisasi alih-alih penegakan hukum dalam menangani penyalahgunaan narkoba. Prinsipnya, penggunaan narkotik untuk keperluan pribadi bukan tindak pidana. Para pemadat didorong menjalani rehabilitasi berdasarkan penilaian ahli kesehatan. Penegakan hukum fokus pada produsen dan bandar kelas kakap seperti Fredy Pratama.
Pendekatan dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba bisa membantu mengatasi masalah kepadatan penjara di Indonesia. Pada 2022, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat separuh dari 275 ribu narapidana adalah tahanan kasus narkoba. Kecenderungan polisi menjebloskan pecandu ke dalam penjara daripada merehabilitasinya menjadi sebab utama.
Dengan perspektif kesehatan menangani narkoba, biaya hidup tahanan bisa dialihkan menjadi program kesehatan masyarakat. Misalnya, meningkatkan kesadaran akan bahaya obat terlarang di berbagai komunitas. Bagi polisi, mereka juga bisa lebih berkonsentrasi membongkar jaringan narkoba alih-alih sibuk menjerat pemakai kelas teri.
Seperti di Portugal sejak 2001 ketika pemakai narkoba 1 persen dari populasi. Pemadat dikirim ke panel yang terdiri atas dokter, pengacara, dan pekerja sosial. Komite khusus itu menilai serta menentukan sanksi, dari denda, pencabutan lisensi berkendara, hingga larangan pergi ke diskotek. Pengguna narkotik juga diberi layanan medis dan rehabilitasi secara gratis. Polisi Portugal, sementara itu, tetap berfokus menggulung para bandar narkoba.
Baca liputannya:
- Siapa Fredy Pratama, Gembong Narkoba yang Tiba-Tiba Mencuat
- Seberapa Besar Jaringan Narkoba Fredy Pratama
- Bagaimana Polisi Membongkar Sindikat Narkoba Fredy Pratama
Pencandu di Portugal memang masih ada. Polisi belakangan juga menuding kebijakan dekriminalisasi sebagai biang maraknya kasus overdosis serta naiknya kriminalitas yang dipicu penyalahgunaan narkoba. Tapi kebijakan dekriminalisasi di negara itu efektif mendorong peningkatan jumlah pengguna yang pergi ke layanan medis dan rehabilitasi serta membuat angka kematian akibat narkoba di Portugal terendah di antara negara anggota Uni Eropa, yakni 6 kasus per 1 juta penduduk.
Pendekatan pemidanaan pengguna narkoba dalam program “darurat narkoba” sudah saatnya ditinjau lagi. Dengan jumlah pengguna narkoba 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia, pemerintah dan polisi mesti mengubah perspektif menangani penyalahgunaan narkotika.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saatnya Dekriminalisasi Pencandu Narkoba"