Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tampaknya punya kambing hitam yang selalu sama untuk segala bencana yang menimpa negeri ini, yakni alam. Dulu ada petinggi Istana yang yakin kabut asap di Riau adalah takdir Tuhan. Kini Presiden Joko Widodo menyebutkan banjir besar yang merendam 11 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, 10-17 Januari lalu, akibat curah hujan yang ekstrem. Namun pemerintah menutup mata atas hilangnya hutan di pegunungan Meratus dan daerah aliran sungai (DAS) Barito yang berfungsi sebagai daerah resapan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tidak perlu kukuh menyangkal alih fungsi hutan di hulu dan DAS Barito tersebut. Tidak usah pula menuding analisis di luar kementeriannya sebagai tidak valid dan tak sesuai dengan standar. Apalagi bila data yang diungkapkan tidak komprehensif, transparan, dan mutakhir. Menteri Siti memakai data 2019 untuk mengatakan bahwa 83,3 persen hulu DAS Barito masih bertutupan hutan alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi terbaru DAS Barito itu sebetulnya gampang dipresentasikan kementerian. Seperti kajian yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menggunakan teknologi yang telah terbukti dan dipakai di seluruh dunia, yaitu pengindraan jauh berbasis citra satelit Landsat. Berdasarkan analisis itu, selama 2010-2020, terjadi pengempisan luas area hutan primer di DAS Barito sebesar 13 ribu hektare. Di waktu dan wilayah yang sama terjadi peningkatan area kebun seluas 219 ribu hektare.
Pemerintah juga tak gamblang mengungkap, di DAS Barito yang disebut masih terjaga baik itu bebas dari aktivitas tambang. Padahal, menurut catatan lembaga riset dan pemerhati lingkungan Auriga Nusantara, ada 486.642 hektare lahan di DAS Barito di Kalimantan Selatan yang telah beralih fungsi menjadi area pertambangan. Sebanyak 118 izin dengan cakupan 482.756 hektare di antaranya merupakan tambang batu bara yang mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup pada periode 2004-2020.
Memberi izin tambang di kawasan hutan dengan alasan untuk merehabilitasi lahan DAS Barito yang kritis merupakan kebijakan yang keliru besar. Alih-alih memulihkan kerusakan, pembukaan tambang di kawasan hutan DAS Barito membuat fungsi resapan air di hulu sungai menjadi sangat terganggu. Apalagi hampir 80 persen dari tambang yang dibuka berada di zona resapan dan daya dukung air. Tak mengherankan bila hujan berintensitas tinggi turun membuat Sungai Barito tak kuasa menjadi satu-satunya penampung limpahan air.
Menanggulangi banjir Kalimantan Selatan, semestinya pemerintah belajar dari kesalahan pengelolaan banjir Jakarta. Kebanyakan banjir di Jakarta berhubungan erat dengan kondisi di Puncak, Bogor, Jawa Barat, sebagai hulu masalah. Kita tahu, tata ruang di kawasan itu centang-perenang dan tak pernah sungguh-sungguh dibenahi. Hutan lindung dan kebun teh kian menyusut berganti vila-vila yang dibangun tanpa izin. Selama Puncak semrawut, pembangunan di hilir seperti membuat waduk resapan dan kanal banjir serta melakukan normalisasi kali tak akan mengurangi kiriman air bah.
Pemerintah seharusnya tidak menihilkan pengaruh berkurangnya tutupan hutan dalam banjir yang memakan korban 21 jiwa ini. Anomali cuaca yang menurut pemerintah adalah biang kerok dari bencana banjir ini merupakan dampak dari krisis iklim yang salah satunya disumbangkan oleh deforestasi. Pemerintah justru harus segera mengoreksi beragam kebijakan yang keliru. Hal tersebut bisa dimulai dari mengevaluasi izin tambang dan kebun sawit, melakukan moratorium izin baru, serta menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo