Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiko Saputra
Peneliti Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman ekonomi Indonesia telah bergeser dari isu instabilitas moneter ke isu ketimpangan ekonomi. Meskipun nilai tukar terus bergejolak, kemampuan dan kapasitas kebijakan moneter masih mumpuni untuk menjaga stabilitas ekonomi. Tapi keadaannya berbeda dengan kemampuan pemerintah mengatasi ketimpangan ekonomi yang semakin akut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam satu dekade terakhir, yakni 5-6 persen per tahun, ternyata menghasilkan residu berupa ketimpangan. Nilai tambahnya tak menetes ke kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Ketimpangan pengeluaran yang diukur oleh indeks gini pada 2018 sebesar 0,38. Meskipun turun dibanding 2017, yakni 0,39, angkanya jauh lebih tinggi dibanding sebelum krisis ekonomi 1998, yakni 0,33 (BPS, 2018).
Tingginya angka ketimpangan itu menunjukkan bahwa distribusi sumber-sumber ekonomi tidak merata. Salah satunya adalah penguasaan lahan. Sensus pertanian yang dilakukan oleh BPS pada 2013 menunjukkan penguasaan lahan oleh petani gurem di Indonesia hanya 0,3 hektare. Bandingkan dengan penguasaan lahan oleh perusahaan sawit, yang bahkan satu perusahaan dapat menguasai 500 ribu hektare lahan.
Ketimpangan itu juga menyeruak di sektor kehutanan. Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, terdapat 531 perusahaan yang menguasai 35,8 juta hektare lahan konsesi. Padahal masih terdapat 31.951 desa yang berada di kawasan hutan yang tidak jelas status lahannya.
Parahnya, mereka berdesak-desakan bercocok tanam di area yang sempit. Hasil kajian Auriga pada 2018 menunjukkan hanya 12,5 persen dari total lahan yang ada di desa di sekitar kawasan hutan yang boleh dibudidayakan secara legal oleh masyarakat.
Alih-alih mempercepat pembangunan desa lewat dana desa, mereka justru terkungkung oleh kemiskinan yang disebabkan penataan kawasan hutan yang tak ajek. Sebanyak 10,2 juta penduduk miskin hidup di dalam kawasan hutan tanpa memiliki aspek legal terhadap penguasaan lahan.
Tepat pada Hari Tani, 24 September lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Meskipun peraturan ini keluar di ujung periode pemerintahan Jokowi, ada semangat pemerintah untuk mengatasi masalah agraria yang sudah akut.
Dengan aturan itu, pemerintah menyasar redistribusi lahan seluas 8,4 juta hektare kepada masyarakat, yakni lewat pelepasan kawasan hutan untuk tanah obyek reforma agraria seluas 4,1 juta hektare dan perhutanan sosial seluas 4,3 juta hektare pada 2019. Harapannya, ketimpangan penguasaan lahan bisa diturunkan.
Meskipun demikian, esensi dari reforma agraria bukan sekadar mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan. Cakupannya jauh lebih luas dari itu, yakni menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan ketahanan pangan, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, memperbaiki akses masyarakat terhadap sumber ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan, serta menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Esensi itu seharusnya mampu diejawantahkan dalam pelaksanaan program reforma agraria. Karena itu, program redistribusi lahan harus satu paket dengan program pengembangan ekonomi masyarakat, ketahanan pangan, dan kelestarian lingkungan. Kalau tidak, lahan-lahan yang sudah diredistribusikan jadi lebih cepat dikonsolidasikan lagi oleh perusahaan untuk kepentingan mereka, selain menjadi penyebab krisis pangan dan kerusakan lingkungan.
Sepantasnyalah semua elemen pembangunan harus dilibatkan dalam mencapai esensi dari reforma agraria. Semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah harus proaktif mendukung kebijakan itu. Sinergi antar-mereka harus dilakukan, misalnya melibatkan Kementerian Pertanian untuk mengisi program ketahanan pangan atau melibatkan Kementerian Desa serta Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah untuk pemberdayaan masyarakat.
Jangan lupakan peran perusahaan yang penting di dalam reforma agraria. Perusahaan harus bersinergi untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat yang menjadi subyek reforma agraria, baik lewat kemitraan maupun kerja sama pada rantai pasok, sehingga esensi pada aspek ekonominya bisa tercapai. Pada akhirnya, peraturan ini memecah kebuntuan penyelesaian masalah agraria dan ketimpangan penguasa lahan di Indonesia.