Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapakah orang miskin Indonesia? Apakah mereka yang memiliki mobil dapat dimasukkan ke kategori ini? Kedua pertanyaan ini perlu dijawab sebelum upaya mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di berbagai wilayah Tanah Air dilakukan. Soalnya, peningkatan harga minyak dunia yang luar biasa belakangan ini membuat pemerintah tak mungkin menghindar dari kegiatan subsidi, sementara kekuatan untuk melakukannya sangat terbatas. Walhasil, menentukan prioritas siapa yang layak menerima bantuan pemerintah pun menjadi persoalan yang perlu selekasnya dituntaskan.
Coba simak penuturan sederhana berikut. Dalam perhitungan Widya Purnama, harga minyak yang telah disuling seperti minyak tanah atau premium sekitar US$ 10 di atas minyak mentah, sementara ongkos distribusi Pertamina ke seluruh pelosok negeri rata-rata Rp 300 per liter. Maka, bila harga satu barel (sekitar 159 liter) minyak mentah dunia mencapai US$ 62, biaya pengadaan satu liter BBM mencapai sekitar Rp 4.700. Karena saat ini harga seliter minyak tanah Rp 700 dan premium Rp 2.400, dapat dibayangkan berapa kerugian Pertamina yang kini populer disebut subsidi BBM itu bila konsumsi bensin kendaraan bermotor setahun mencapai 20 miliar liter dan minyak tanah 10 miliar liter. Ini belum termasuk BBM yang dikonsumsi industri. Maka jangan heran jika Wakil Presiden Jusuf Kalla memperkirakan subsidi BBM dapat mencapai Rp 150 triliun setahun bila harga minyak dunia tak segera turun.
Ini jumlah yang mengerikan dan tak mungkin ditanggung pemerintah. Itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengimbau masyarakat agar segera melakukan penghematan pemakaian BBM. Maksud Kepala Negara tentu baik: bila konsumsi minyak menurun, kelangkaan bahan vital ini akan menghilang dan biaya subsidi pun akan turun. Tapi maksud baik dan imbauan jauh dari cukup. Bagaimana dapat mengharapkan konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor turun jika angka penjualan otomotif tahun lalu mencapai dua kali lipat tahun sebelumnya?
Pemerintah tak punya pilihan lain di luar melakukan upaya penghematan subsidi. Ini hanya dapat dilakukan jika masyarakat dapat dipaksa menurunkan konsumsi bahan bakarnya. Caranya tentu bukan dengan menangkapi dan memenjarakan mereka yang boros memakai bensin, tapi cukup dengan menaikkan harganya hingga samabahkan kalau perlu lebih tinggiketimbang harga dunia.
Harus diakui, biaya politik dari solusi ini cukup tinggi. Maka melakukannya harus melalui langkah-langkah yang taktis dan bertahap. Misalnya saja dengan menyediakan pertamax dan pertamax plus di semua SPBU Pertamina dan membiarkan harganya berubah sesuai dengan keadaan dunia. Setelah itu pasokan premium terus-menerus diperkecil dan pengadaannya diprioritaskan bagi kendaraan berpelat nomor kuning alias armada angkutan umum.
Hal serupa juga dapat dilakukan pada pola pengadaan minyak solar. Pertamina perlu menyediakan jenis solar bermutu tinggi, seperti biodiesel, di semua SPBU dengan harga internasional. Setelah program ini selesai, pasokan solar dapat terus-menerus diperkecil dan akhirnya hanya diberikan ke kendaraan angkutan umum.
Dengan cara demikian, pasokan BBM tak akan langka dan BBM bersubsidi tidak lagi dinikmati pemilik kendaraan bermotor pribadi. Biarlah para penumpang angkutan umum dan truk-truk pengangkut barang kebutuhan orang banyak yang mendapatkan bantuan pemerintah. Memang ini bukan berarti tak ada lagi orang tidak miskin yang menikmati subsidi BBM, tapi paling tidak jumlahnya akan jauh berkurang. Ini adalah upaya menghemat subsidi, bukan menghilangkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo