Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA kangen etalase. Toko dan mall menjauh dari pengalaman. Pandemi berbulan-bulan membuat kita makin terbiasa menjaga jarak dari benda-benda sebagai tontonan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi mengapa harus kangen? Menjaga jarak tak berarti lepas. Kita tetap hidup dikelilingi apa yang sejak setengah abad yang lalu disinyalir Guy Debord sebagai la société du spectacle: sebuah kehidupan bersama di mana orang tak lagi sekadar “ada” (l’être), tapi harus “punya” (l’avoir), dan tak sekadar “punya”, tapi juga harus “tampil” (le paraître).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan “tampil”, kita membuat benda-benda jadi penanda. Baju yang kita kenakan tak hanya buat melindungi tubuh, tapi juga penanda kemampuan, kecantikan, dan martabat. Kita ingin dilihat. Kita ingin dinilai. Kita berjejer untuk diklasifikasikan ke dalam golongan pemakai blouse Dolce & Gabbana atau konsumen Pasar Senen, pemakai jaket bomber Country Road atau baju Pasar Klewer.
Berbeda dari di masa pra-Covid, kini penampilan itu—disebut “virtual”—diciutkan jadi hanya yang terlihat dan yang terdengar. Kita mengikuti (tak persis bisa dikatakan “menonton”) teater, pertunjukan musik, peragaan busana, dan pertandingan bola, tanpa datang ke sebuah ruang fisik, di mana kita bahkan bisa menyalami para penampil. Ada reduksi atas tubuh dan pancaindra. Tak ada yang disentuh, tak ada yang dihidu—dan kita harus merasa itu cukup. Orang diharap bisa menemukan parfum dengan hanya membaca merek dan melihat kemasan, atau beriman kepada iklan di YouTube.
Tapi sebenarnya tak ada yang berbeda secara hakiki. Kapitalisme dan dunia modern sejak dulu memisahkan kita dari dunia benda-benda—memisahkan untuk menatapnya dan menguasainya. Atau dikuasainya.
Dalam The Great Gatsby—novel terkenal yang membosankan tentang kehidupan orang kaya raya di Long Island di tahun 1920-an—adegan yang biasanya diingat adalah tentang kemeja. Daisy, pacar Jay Gatsby di masa lalu, mengunjungi rumah megah kekasih lamanya yang telah jadi jutawan. Lelaki ini tetap ingin memikatnya. Di depan Daisy, ia hamparkan tumpukan kemeja dari bermacam-macam merek, warna, dan bahan yang dikirim kepadanya dari London.
Daisy merundukkan kepalanya ke timbunan pakaian itu. Ia menangis: “Kemeja-kemeja ini begitu cantik,” ia tersedu, suaranya lamat-lamat. “Aku sedih karena belum pernah melihat yang seperti ini sebelum ini.”
Tampak, jarak antara Daisy dan hamparan kemeja itu sebuah pengalaman total, emosional dan fisik. Tubuhnya mirip interface komputer yang menyampaikan komunikasi antara dua sistem yang berbeda—antara kesadaran dan dunia materi di luarnya. Saat itu tak ada tele-visi atau tele-fon, yang mengandung makna “jarak jauh”. Ekspresi dalam adegan novel Scott Fitzgerald ini hampir sepenuhnya sensual. Bagi Gatsby, kemeja-kemeja itu pernyataan yang dapat diraba dan dicium tentang milik dan kebanggaannya. Bagi Daisy, pakaian lelaki itu perpanjangan jasmani sang kekasih dan sekaligus harta material yang pernah tak terjangkau.
Di sana, dalam dunia Gatsby, masih erat asosiasi antara benda sebagai benda konkret dan benda sebagai penanda. Tapi modernitas membuat hubungan berubah. Tele-fon sering jadi pengganti mulut dan tele-visi pengganti mata. Peristiwa-peristiwa menjauh dari pancaindra yang lengkap. Benda-benda pun berjarak; hanya dapat dilihat, didengar, dan dibicarakan.
Dalam imajinasi yang ekstrem tentang utopia modern, jarak itu radikal. Slavoj Zizek memakai film The Matrix (1999) sebagai hiperbol yang menggambarkan keterpisahan manusia dengan alam yang riil.
Dalam film ini, realitas material yang dialami manusia sepenuhnya bersifat virtual, digerakkan dan diatur sebuah komputer-maha-kuasa. Ketika sang jagoan, Keanu Reeves, melihat realitas yang bukan virtual di luar ruang hidupnya, “ia melihat sebuah tamasya suram yang ditaburi puing-puing kota Chicago setelah sebuah perang dunia”. Seseorang menyambutnya dengan ironis: “Welcome to the desert of the real!”.
Kata the desert of the real mengesankan bahwa “yang-riil” adalah dunia yang remuk, kalang-kabut, antah-berantah, tak dapat diutarakan dalam bahasa, terutama jika dilihat dari dunia yang tertata. Di Indonesia, kita berada justru di “gurun” itu: banjir, tanah longsor, dan gempa tak putus-putusnya terjadi.
Dalam dunia kita—bukan dunia Matrix—hidup ambigu. Dalam kondisi yang sering tak nyaman dan penuh mara bahaya, kita toh dengan segera bisa sadar, mungkin waspada, bahwa energi yang membuat mesin bergerak dan lampu menyala datang dari perut bumi yang dengan agresif digali, bukan dari pompa-pompa bensin yang bersih. Kita masih bisa langsung ingat, nasi yang kita makan datang dari sawah dan keringat buruh tani—yang keadaannya bisa tak adil—bukan dari proses yang digerakkan otak yang “tak memihak”.
Maka jika kini kita kangen etalase, kita perlu ingat etalase hanyalah pajangan penanda. Kita ke sana untuk mendapat karena kita hidup dalam siklus spectacle yang bisa menyembunyikan kerusakan dan ketidakadilan. Kita bosan diam di rumah, tapi mungkin kita perlu jeda. Hidup tak seharusnya terus-menerus saling menonton.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo