Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Arah Politik Luar Negeri Trump

Donald Trump mengusung dua platform kebijakan dalam pemerintahannya. Bagaimana arah kebijakan politik luar negerinya?

19 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Saat ini ada dua platform kebijakan Trump yang telah beredar, yaitu Agenda 47 dan Project 2025.

  • Masih ada sejumlah kebijakan luar negeri Trump pada periode pertamanya (2016-2020) yang belum selesai.

  • Trump ada kemungkinan akan melanjutkan hubungan yang agresif dengan organisasi-organisasi internasional, yang menjadi ciri masa jabatan pertamanya.

Dengan “harap-harap cemas”, dunia kini tengah menanti kiprah geopolitik Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang masa presidensi "musim kedua"-nya akan dimulai pada 20 Januari 2025. Saat ini ada dua platform kebijakan Trump yang telah beredar, yaitu Agenda 47 dan Project 2025.

Agenda 47—merujuk status Trump sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat—adalah kompilasi manifesto dan janji-janjinya pada masa kampanye 2023-2024, yang disebut “Restoring America’s Greatness” untuk empat tahun ke depan. Sedangkan Project 2025, yang disebut “Mandate for Leadership”, adalah hasil berembuk lebih dari 100 lembaga think-tank AS di bawah koordinasi Heritage Foundation.

Project 2025 merupakan visi komprehensif Partai Republik masa mendatang. Dua platform itu tetap mengedepankan semangat konservatif “American First”, yang cenderung isolasionis dan non-intervensionis. Secara umum, Agenda 47 dan Project 2025 memiliki banyak kesamaan dalam melihat tantangan geopolitik yang akan dihadapi Trump pada musim kedua ini. 

Meski begitu, terdapat perbedaan dalam fokus dan pendekatan dua platform tersebut. Masih ada sejumlah kebijakan luar negeri Trump pada periode pertamanya (2016-2020) yang belum selesai. Khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia, Cina, Timur Tengah, serta soal multilateralisme. 

Dengan latar geopolitik yang dinamis, berdasarkan kedua platform di atas, Trump tampaknya akan memprioritaskan penghentian perang di Ukraina. Namun gencatan senjata tidak akan menyebabkan perubahan signifikan untuk menangani masalah perdagangan dan keamanan energi serta pelonggaran sanksi ekspor migas Rusia.

Trump diprediksi mengurangi dukungan militernya ke Ukraina, dengan menyerukan "transformasi NATO" agar sekutu lebih mandiri, dan mendorong anggota pakta militer ini untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Dalam hal pertahanan, ia juga berencana membangun perisai pertahanan rudal yang mirip dengan strategic defence initiative atau star wars era Presiden Ronald Reagan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam hubungannya dengan Cina, Trump diperkirakan mengambil posisi di garis keras dengan membatasi hubungan ekonomi, terutama terhadap aset yang dimilikinya di Amerika serta perusahaan-perusahaan dan rantai pasoknya. Fokus kebijakan luar negeri utama Amerika adalah membentuk "poros" untuk melawan ancaman Cina. 

Meningkatnya ketegangan di Asia-Pasifik, terutama Selat Taiwan, akan diimbangi dengan upaya pencegahan melalui peningkatan kerja sama militer di kawasan. Adapun untuk menghadapi program Belt and Road Initiative milik Cina, Amerika juga bakal memperluas pengaruhnya, terutama di negara berkembang. Hal yang tak kalah penting bagi Amerika adalah isu kebuntuan denuklirisasi Korea Utara. 

Adapun di Timur Tengah, kedua platform Trump tadi memang tidak secara spesifik menguraikan detailnya. Namun Trump tampak akan melanjutkan kebijakan lamanya berpegang pada sikap pro-Israel/anti-Iran yang berisiko menaikkan harga minyak. Proyek Abraham Accord antara Israel dan negara-negara Arab akan diperluas, sementara perjanjian JCPOA dengan Iran akan kembali mandek karena Trump menghendaki “overhaul”, sejalan dengan meningkatnya kemampuan nuklir dan pengaruh negeri Mullah itu.

Penghentian dana untuk badan pengungsi Palestina PBB (UNRWA) sejak 2018 kemungkinan akan diteruskan. Menurut Ahmed Morsy dari ME on Globar Affairs, asumsi bahwa Trump akan membawa perdamaian ke Timur Tengah merupakan pertaruhan berisiko tinggi, terutama karena hubungan eratnya dengan banyak petinggi Israel. Hal ini tidak akan memperbaiki kondisi Palestina atau menciptakan jalan yang berarti menuju solusi dua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah kembali ke Gedung Putih, Trump ada kemungkinan akan melanjutkan hubungan yang agresif dengan organisasi-organisasi internasional, yang menjadi ciri masa jabatan pertamanya. Namun Trump akan mengurangi partisipasi Amerika dalam organisasi internasional (seperti WHO, WTO, dan PBB) serta mengusulkan untuk menghilangkan "pemborosan pengeluaran" bantuan luar negeri, seperti USAID, dan berfokus pada perjanjian bilateral. 

Kebijakan Trump yang menekankan perlunya "analisis biaya-manfaat” yang komprehensif dalam berbagai program merupakan sinyal kebijakan isolasionis, yang akan mengurangi dukungan Amerika Serikat bagi negara-negara berkembang. 

Dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi, Agenda 47 dan Project 2025 diprediksi memecah belah kalangan konservatif. Karena itulah dokumen tersebut mengandalkan pelaksanaan dan penyelesaiannya pada "kepemimpinan presiden".

Hal ini sejalan dengan Model Aktor Rasional Graham Allison berdasarkan Teori Rational Choice, yang menyatakan seorang individu akan menganalisis biaya-manfaat untuk menentukan apakah suatu pilihan tepat bagi mereka.

Graham Allison mengasumsikan bahwa para pembuat keputusan bertindak secara rasional untuk memaksimalkan utilitas mereka. Dalam model ini, pemerintah (baca: presiden) adalah aktor utama yang menimbang berbagai pilihan, mengevaluasinya, dan memilih satu yang memberikan hasil maksimal.

Biden mewarisi Trump dengan berbagai isu geopolitik global yang tidak kondusif, yang membuat Amerika “kedodoran”. Negeri Abang Sam dituntut siap siaga di sejumlah medan perang yang belum pernah ada presedennya pada masa pasca-Perang Dunia II: Ukraina, Gaza, dan Pasifik, dengan beragam ramifikasinya. 

Dalam situasi seperti ini, dapat dipahami apabila kebijakan “American First” akan kembali ditonjolkan oleh Trump pada musim kedua masa kepemimpinannya. Singkatnya, agenda politik luar negeri Trump kemungkinan akan melanjutkan penekanan pada diplomasi transaksional, memprioritaskan kepentingan dalam negeri mereka, serta melepaskan diri dari konflik berkepanjangan sambil mengandalkan aliansi regional dan inisiatif ekonomi.

Jika Trump mengambil pendekatan yang lebih konfrontatif atau transaksional pada masa jabatan keduanya, konsekuensinya mungkin akan mengkhawatirkan. Tapi, di sisi lain, kesediaannya untuk tidak menggunakan norma-norma tradisional mungkin juga menciptakan peluang baru untuk negosiasi atau penataan ulang di arena global.

Penulis adalah Mantan Duta Besar RI untuk Iran dan analis geopolitik dan hubungan internasional.


Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dian Wirengjurit

Dian Wirengjurit

Mantan Duta Besar RI untuk Iran dan analis geopolitik dan hubungan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus