Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Politikus yang terus mendengungkan penundaan pemilu adalah pengkhianat demokrasi.
Amendemen UUD 1945 bisa masuk melalui banyak celah.
Politikus bernurani, para tokoh, media, dan mahasiswa mesti bersatu menggagalkan pembajakan demokrasi ini.
TAHUN 2022 pantas disebut sebagai vivere pericoloso, istilah Italia yang berarti hidup yang menyerempet bahaya. Diucapkan Bung Karno dalam peringatan kemerdekaan RI ke-19 pada 1964, terminologi itu dipakai untuk menyebut republik yang genting karena pertikaian politik dan pertentangan ideologis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2022 menjadi gawat karena rencana penundaan pemilihan umum. Jika hal itu terlaksana, demokrasi Indonesia akan tinggal kenangan. Mereka yang membiarkan penundaan pemilu akan dikutuk sejarah sebagai pengkhianat yang tak tahu terima kasih kepada mereka yang gugur dalam merebut demokrasi dari tangan Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha untuk menunda pemilu sedang gencar dilakukan. Dari mempengaruhi publik melalui klaim dukungan “big data” oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, promosi melalui YouTube di akun pesohor yang punya pengikut bejibun, hingga lobi-lobi jahat dan barter kekuasaan lewat amendemen konstitusi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang sedang getol memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara ke UUD 1945, dilobi agar mendukung penundaan dengan barter rencana mereka bakal disetujui. Pernyataan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari PDIP, Ahmad Basarah, yang menolak amendemen hendaknya tidak cepat-cepat memantik haru. Sampai menjadi sikap resmi partai di sidang MPR, pernyataan itu harus dibaca sebagai pernyataan sementara.
Pendukung penundaan pemilu juga bisa memberikan kekuasaan legislasi kepada Dewan Perwakilan Daerah—pemegang 136 dari 711 suara Majelis Permusyawaratan Rakyat—agar mendukung rencana jahat tersebut.
UUD 1945 tegas mengatur pemilu diselenggarakan tiap lima tahun untuk membatasi kekuasaan dan memberi kesempatan publik menggunakan hak politiknya. Konstitusi, aturan main kita bernegara, menetapkan presiden dan wakil presiden hanya boleh menjabat dua periode agar kekuasaan tak jadi korup dan absolut.
Untuk mencegah pemilu ditunda, gagasan amendemen UUD 1945 harus ditolak. Di saat genting seperti ini, amendemen konstitusi bisa dimanfaatkan politikus oportunis untuk memasukkan agenda perubahan jadwal pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden.
Indonesia punya trauma sejarah terhadap presiden yang berkuasa tanpa batas. Di era Soeharto, korupsi berlangsung sistemik dan ketimpangan sosial-ekonomi menganga. Gerakan Reformasi 1998 telah menghentikan kekuasaan lancung itu.
Apa yang dilakukan Joko Widodo persis dilakukan para autokrat dalam How Democracies Die. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, penulis buku itu, mengungkap tabiat para autokrat mengambil alih kekuasaan demokratis menggunakan perangkat demokrasi. Dari Hitler hingga Putin, dari Alberto Fujimori di Peru hingga Donald Trump di Amerika Serikat.
Di tangan mereka, demokrasi mati dengan jalan demokratis melalui perubahan konstitusi. Di Indonesia, demokrasi hendak ditumpas atas nama pembangunanisme Jokowi.
Para tokoh, aktivis, mahasiswa, media, dan pemimpin partai politik mesti bersatu menggagalkan persekongkolan jahat ini. Indonesia terlalu berharga untuk dibiarkan kembali ke era gelap otoritarianisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo