Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Karakter Dilan dan Iklan Produk

Hingga kini, Ody Mulya Hidayat, produser film Dilan 1991, masih kesal. Bahkan ia sempat membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Badan Ekonomi Kreatif untuk meminta perlindungan hukum.

12 Juli 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemala Atmojo
Pengamat hukum Entertainment

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga kini, Ody Mulya Hidayat, produser film Dilan 1991, masih kesal. Bahkan ia sempat membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Badan Ekonomi Kreatif untuk meminta perlindungan hukum. Pasalnya, di tengah pemutaran film Dilan 1991, muncul iklan dari sebuah perusahaan belanja online dengan judul "Dilon 2019". Menurut Ody (Max Pictures), perusahaan itu mendompleng popularitas Dilan 1991. Dalam iklan itu, muncul pasangan yang menirukan karakter Dilan dan Milea. Tak cuma itu. Sebuah iklan obat juga melakukan hal mirip. Dalam iklan obat itu, sang bintang menyebut namanya sebagai Dilan dan menggunakan ungkapan khas yang terdapat dalam film Dilan 1991.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat terbuka Ody sebenarnya lucu sekaligus menunjukkan masih lemahnya hukum hiburan, khususnya perfilman, di Indonesia. Kasus semacam ini juga banyak terjadi di Amerika Serikat, tapi mereka tidak membuat surat terbuka, melainkan menggugatnya ke pengadilan. Masalahnya dan ini yang mungkin Ody pahami sistem hukum dan peradilan kita belum cukup pengalaman untuk menangani kasus semacam itu.

Undang-Undang Hak Cipta kita tidak menyebut "karakter", baik dalam film maupun novel, sebagai ciptaan yang dilindungi. Undang-undang hanya menyebutkan bahwa karya seni, termasuk karya sinematografi, adalah ciptaan yang dilindungi. Hal-hal rinci, seperti karakter, kostum, ucapan, penampilan, publisitas, dan cuplikan musik, tidak disebut secara khusus. Undang-Undang Persaingan Usaha juga tidak mengatur hal-hal rinci semacam itu, terutama dalam karya seni.

Dalam khazanah hukum hiburan, setidaknya dikenal dua tipe karakter. Pertama, karakter visual. Karakter ini biasanya dimulai dalam bentuk gambar. Karakter visual kemudian dideskripsikan dalam kata-kata yang sangat rinci, sehingga mereka dapat menggantikan gambar itu sendiri. Misalnya, Putih Salju, yang pertama kali muncul dalam buku karya Brothers Grimm, dideskripsikan begitu rinci. Contoh jenis karakter visual lain yang akrab di telinga kita adalah Mickey Mouse, Superman, E.T., Freddy Krueger, dan lain-lain. Biasanya, karakter visual ini dilisensikan untuk kepentingan barang dagangan yang menghasilkan pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta.

Kedua, karakter cerita. Karakter ini biasanya muncul pertama kali dalam karya sastra. Contoh populer dari karakter jenis ini adalah monster Frankenstein dan James Bond. Karakter kedua tokoh itu muncul melalui dialog, alur, dan interaksi dengan karakter lain. Ada banyak aktor terkenal yang telah memainkan dua peran ini, tapi karakternya tetap sama.

Baik karakter visual maupun karakter cerita pernah bermasalah di pengadilan. DJ Jazzy Jeff dan Fresh Prince berseteru dengan New Line Cinema gara-gara karakter Freddy Krueger yang muncul dalam video musik Jazzy Jeff, A Nightmare on My Street. Padahal saat itu New Line Cinema sedang menggarap serial keempat A Nightmare on Elm Street yang dibintangi karakter Freddy Krueger. Adapun karakter James Bond pernah menjadi sengketa antara MGM dan Honda. Pasalnya, iklan Honda del Sol menampilkan pria yang ditengarai "menjiplak" karakter James Bond.

Untuk melihat apakah sebuah karakter cerita layak dilindungi oleh hak cipta, biasanya pengadilan melihat dengan dua cara yang saling berkaitan. Pertama, penggambaran karakter (character delineation test). Hakim menilai apakah ekspresi dari karakter asli cukup layak untuk memiliki hak cipta tersendiri. Kemudian mereka mengecek apakah ekspresi karakter yang diduga melanggar itu memang mirip dengan karakter aslinya. Intinya, pengujian model ini mengandalkan subyektivitas hakim dalam melihat setiap perkara. Cara ini dipakai ketika hakim memutuskan sengketa antara Sachin Gadh dan Jonathan Sender melawan Spike Jonze dalam film Her.

Kedua, dengan melihat cerita yang disampaikan (story being told test). Apakah karakter itu merupakan kisah yang hendak disampaikan atau sekadar kendaraan untuk menyampaikan sebuah cerita tertentu. Jika dia memang merupakan kisah yang hendak disampaikan, karakter itu layak dilindungi hak cipta. Dalam tes ini, faktor lamanya karakter beredar di masyarakat dan popularitasnya ikut mempengaruhi penilaian.

Misalnya, kekuatan karakter Doctor Who dalam film fiksi ilmiah Inggris Doctor Who. Karakter yang diciptakan pada 1960-an dan terus berlanjut sampai 2014 itu diakui memiliki hak cipta karena lamanya dan popularitasnya di masyarakat. Selain itu, Doctor Who dalam serial itu bukan semata-mata kendaraan untuk menceritakan sebuah kisah, melainkan kisah yang memang hendak disampaikan.

Maka, Ody Mulya sebaiknya menyelesaikan kegalauannya melalui pengadilan. Belum tentu menang, tapi itu akan menjadi langkah maju dalam usaha pengembangan hukum perfilman di Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus