Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI JAKARTA, seperti di banyak kota besar lain, kendaraan bermotor menjadi raja jalanan. Kondisi ini menyebabkan pemerintah kota, juga warga kota dan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitarnya, seakan-akan mengenakan kacamata kuda dan kesulitan melihat kemungkinan lain yang bisa diwujudkan melalui penerapan electronic road pricing (ERP). Padahal tidak mesti demikian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertahun-tahun kondisi itu dibentuk oleh penyediaan prasarana yang terus-menerus memanjakan dan mengokohkan dominasi kendaraan bermotor, subsidi bahan bakar minyak, dan pengembangan kawasan yang acakadut. Akibatnya, dampak-dampak negatif yang sebetulnya tak bisa disepelekan menjadi tersisihkan. Berbagai dampak itu: polusi udara yang terus memburuk, kemacetan yang bertambah menggila, tingkat kematian di jalan yang tinggi, dan risiko kesehatan bagi publik karena malas bergerak (sedentary lifestyle).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini sudah kelewat banyak yang memaparkan seberapa parah problem-problem tersebut. Polusi udara menjadi sebab lima juta lebih kasus kesehatan per tahun yang menelan biaya di atas Rp 6 triliun; kemacetan merugikan ekonomi yang ditaksir sekurang-kurangnya Rp 51 triliun setiap tahun; tabrakan di jalan menghilangkan 2-3 nyawa per jam; dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk mengatasi penyakit-penyakit akibat obesitas—penyakit jantung dan stroke, diabetes, dan lain-lain—terus membengkak.
Yang juga tak kalah gentingnya adalah ketergantungan kronis akibat kebijakan salah kaprah itu menyebabkan terbelahnya publik ketika kebersamaan justru sedang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah-masalah yang ada, juga tantangan paling berat yang dihadapi masyarakat saat ini: krisis iklim.
Krisis iklim merupakan fenomena yang sudah lama diketahui penyebabnya, yakni ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Di perkotaan di seluruh dunia, sektor transportasi merupakan sumber terbesar emisi akibat penggunaan bahan bakar fosil--emisi menghasilkan gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, dan mengotori udara dengan polutan yang berbahaya bagi kesehatan. Di Jakarta, menurut kajian Vital Strategies dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 2020, angkanya bisa mencapai 70 persen.
Sangat jelas, sebenarnya, apa solusi dari masalah-masalah yang bukan semata-mata isu kemacetan itu: mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Ini merupakan keniscayaan. Jika pemerintah Jakarta mau bersungguh-sungguh menanggulangi semua dampak negatif ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, implementasi ERP, sebagai strategi yang bersifat memaksa (push factor), tak bisa tidak harus direalisasikan.
Singapura, yang telah menerapkannya sejak April 1998, hampir selalu disebut dalam pembahasan mengenai ERP. Tapi ERP sebetulnya hanya satu jenis skema pungutan biaya bagi kendaraan bermotor yang mau melewati suatu jalan. Ada skema lain, misalnya low emission zone charge. Tapi, apa pun skemanya, yang sebenarnya perlu diketahui adalah bagaimana penerapannya bisa mencapai tujuan. Efektifkah? Apa alternatifnya? Bagaimana bila skema-skema itu dibandingkan dengan langkah-langkah lain?
Kimberly Nicholas dan Paula Kuss dari Lund University Centre for Sustainability Studies menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui kajian terhadap hasil dari langkah-langkah yang telah dijalankan di kota-kota di Eropa. Hasil atau temuan dari langkah-langkah itu diperoleh dari hampir 800 laporan dan studi kasus yang telah melewati telaah sejawat, yang dipublikasikan sejak 2010.
Peringkat Teratas Strategi Pengurangan Kendaraan Bermotor
Intervensi |
Elemen Sanksi |
Elemen Insentif |
Congestion charge |
Pengemudi membayar untuk masuk kota |
Pendapatan dimanfaatkan untuk memperkuat sistem transportasi lestari |
Pengendalian parkir dan lalu lintas |
Mengurangi tempat parkir, mengubah rute lalu lintas |
Mengalihkan tempat parkir jadi jalur sepeda dan trotoar; menambah jalan bebas kendaraan bermotor |
Zona lalu lintas terbatas |
Membatasi kendaraan bermotor di sebagian kawasan kota (kecuali penghuni) |
Denda dari pelanggaran digunakan untuk mendanai angkutan umum |
Layanan mobilitas bagi pelaju |
|
Karyawan diberi kartu bebas angkutan umum, lalu disediakan angkutan terbatas menuju kantor |
Biaya parkir di tempat kerja |
Pengemudi membayar parkir di tempat kerja |
Skema pemberian uang untuk penggunaan angkutan umum; pendapatan parkir untuk mendanai angkutan umum |
Sumber: Kimberly Nicholas, “12 Best Ways to Get Cars Out of Cities”, The Conversation, 14 April 2022
Nicholas dan Kuss secara khusus berupaya membuat peringkat untuk 12 langkah yang secara kuantitatif terbukti paling efektif (lima di antaranya ada dalam tabel). Peringkat ini dinilai merupakan refleksi dari keberhasilan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan juga memperbaiki kualitas kehidupan serta mobilitas yang lestari bagi warga kota.
Hasilnya? Dari 12 langkah itu, tidak salah jika fokus diarahkan ke tiga urutan teratas yang secara langsung bisa dijalankan pemerintah kota. Tindakan yang paling efektif adalah congestion charge atau pungutan untuk memasuki kawasan macet (skema yang serupa dengan ERP). Pungutan ini bisa mengurangi volume kendaraan di perkotaan antara 12 dan 33 persen.
Di urutan kedua dan ketiga adalah pemberlakuan jalan bebas kendaraan bermotor serta pembangunan jalur sepeda terproteksi, dan penetapan larangan masuk bagi kendaraan bermotor di sebagian kawasan kota. Masing-masing dari kedua langkah ini bisa merealisasikan pengurangan volume kendaraan bermotor 11-19 persen dan 10-20 persen.
Tentu saja, bisa timbul perkiraan tentang bagaimana hasilnya jika langkah-langkah itu dijalankan simultan. Dalam kenyataannya, begitulah yang berlaku di kota-kota yang pengalaman dan keberhasilannya dikaji: tidak ada langkah tunggal, selalu berupa kombinasi. Inilah yang sebetulnya diperlukan di Jakarta.
Dengan kata lain, ERP saja tidak akan cukup. Meski demikian, argumentasi yang selalu diajukan bahwa “ERP boleh saja diberlakukan tapi benahi dulu angkutan umum” atau “ERP baik tapi… [alasan yang lain]” tidak serta-merta harus diakomodasi. Ini logika usang telur atau ayam dulu. Dengan kegentingan situasinya, sebuah langkah bagaimanapun harus dimulai; langkah ini bisa dari mana saja dalam kondisi yang ada. ERP tampaknya merupakan keniscayaan sebagai “langkah pertama dalam perjalanan seribu kilometer”.
Kebijakan yang baik mestinya tidak didasarkan atas keberatan-keberatan dari kelompok tertentu yang selama ini menikmati privilese, mendapat prioritas. Dasar kebijakan untuk kepentingan yang luas haruslah kajian ilmiah, atau, sekurang-kurangnya, pelajaran dari pengalaman yang ada, dari mana pun asalnya. Penerapan ERP di banyak kota sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa ia berpotensi membukakan mata sebagian publik yang selama ini tergantung pada kendaraan bermotor pribadi bahwa ada kemungkinan lain.