Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesehatan Mental di Tengah Geopolitik Paranoid

Mental sehat adalah hak asasi manusia. Ia hanya ada dalam kondisi damai di tengah pembangunan yang berkelanjutan.

6 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Federasi Kesehatan Mental Dunia menyatakan mental sehat sebagai hak asasi manusia.

  • Mental yang sehat tidak berada di tengah peperangan dan di tengah resesi.

  • Pembangunan yang berkelanjutan merupakan keniscayaan untuk menghadirkan mental sehat.

Limas Sutanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Psikiater

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Federasi Kesehatan Mental Dunia (WFMH) menyatakan, tahun ini adalah saat untuk menyerukan bahwa mental sehat adalah hak asasi manusia yang universal. Seruan ini mengandung pengakuan bahwa kesehatan mental bukan berada dalam ruang kosong. Berbagai kondisi dunia akhir-akhir ini secara bersama-sama membuahkan resesi, yang tampak nyata misalnya sebagai harga-harga bahan kebutuhan pokok yang melambung tinggi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, dan penghasilan yang menurun. Pandemi Covid-19 dan perang yang sedang berlangsung, seperti perang Rusia-Ukraina yang bisa saja menuju perang nuklir, merupakan dua tragedi nyata yang memicu resesi. Resesi, perang, dan krisis pangan adalah tragedi kemanusiaan universal. Di antara ketiganya, perang merupakan ironi terbesar yang semestinya dapat dihindari dan ditiadakan.

Mental yang sehat tidak berada di tengah peperangan. Mental yang sehat digambarkan dengan tepat dan lengkap oleh satu kata: kedamaian. Perang merupakan perusak kesehatan mental. Dunia yang diresapi permusuhan, kecurigaan, atau sikap paranoid identik dengan hadirnya mental yang menderita dan gangguan mental (mental disorder). Namun kemunafikan tampak saat orang berbicara tentang mental sehat sebagai hak asasi manusia universal, tapi membiarkan perang terus berlangsung dan malah menggelar perang. Hipokrisi dan kebohongan adalah gejala-gejala mental tidak sehat sekaligus faktor-faktor perusak kesehatan mental. Integritas dan kejujuran tidak memerlukan propaganda. Keduanya hadir ketika manusia tanpa dalih menghentikan perang. Dalam geopolitik yang paranoid, mental yang sehat adalah utopia.

Pada titik terawal setiap tragedi, yang terguncang adalah perasaan atau afeksi. Ada berbagai taraf disregulasi afeksi atau kekacauan perasaan. Sejumlah besar data klinis dan riset menunjukkan bahwa semua bentuk psikopatologi (kerusakan kesehatan mental) memiliki simtom-simtom disregulasi emosi. Maka, disregulasi afeksi dikaitkan dengan berbagai tema spesifik gangguan mental, terutama kecemasan, depresi, bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan masalah kepribadian, misalnya kajian Olivia Guerra dan Ejemai Eboreime yang dipublikasikan dalam jurnal Behavioral Sciences (Basel, Swiss) pada 2021. Hal ini tidak menyingkirkan dalil bahwa disregulasi perasaan merupakan efeksi terawal sekaligus dampak sentral dari tragedi. Mengejawantahkan regulasi afeksi (upaya melerai kekacauan perasaan) dapat membuahkan pengaruh besar untuk memitigasi efek-efek tragedi pada manusia dan memutus lingkaran setan pelestarian mereka.

Regulasi afeksi dapat dilakukan dengan mempengaruhi faktor-faktor yang dalam permodelan artifisial dianggap sebagai kekuatan-kekuatan yang membuatnya terjadi. Namun, tatkala kesadaran tentang mental sehat sebagai hak asasi manusia mengedepan, penerapan model dari luar diri manusia dapat dikurangi, setidak-tidaknya sebagian dapat digantikan dengan penerapan pendekatan “dari dalam sang manusia”. Perasaan atau afeksi dapat dihampiri dari dalam sang manusia, tidak dengan menerapkan suatu model atau konstruksi yang diciptakan di luar diri manusia.

Ketika seseorang mendengarkan orang lain dengan luas dan saksama, dunia perasaan kedua manusia itu terhubung satu sama lain dalam sebuah sinkronisasi kedua belahan otak kanan mereka. Penggunaan teknologi hyperscanning, seperti spektroskopi inframerah-dekat (NIRS) dan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), dapat memvisualkan dengan jelas sinkronisasi dua otak (misalnya otak pasien dan otak terapis), yang sedang terlibat dalam suatu relasi khusus yang disebut relasi terapeutik, yang berintikan aktivitas saling mendengarkan, berdialog, dan bernegosiasi.

Tatkala dua pribadi berdialog dan bernegosiasi, mereka menjalin hubungan intersubyektif yang dapat melerai afeksi yang membuncah. Mengatasi efek tragedi pada titik terawal adalah datang menghampiri manusia yang menderita, memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata mereka, menghampiri dunia perasaan mereka, lantas dalam ketersambungan afektif berdialog dan bernegosiasi untuk melerai disregulasi afeksi yang berkecamuk dalam diri mereka dan secara kooperatif bekerja sama dalam memecahkan masalah-masalah.

Ada enam ciri perilaku yang memfasilitasi ketersambungan intersubyektif: menyadari diri sendiri tidak tahu tapi ingin mengetahui untuk dapat membantu; mendengarkan dengan luas dan saksama; menerima dan menghargai pribadi manusia; memahami secara empatik; menghargai ekspresi nonverbal dan berupaya menanggapinya dengan tepat; serta mendayagunakan imajinasi dan kreativitas untuk melihat kemungkinan yang baik dan mengejawantahkannya dalam perjalanan ke depan.

Akar-akar tragedi adalah perilaku manusia yang serakah, ekspansif, ekstraktif, dan menguras kandungan kehidupan serta mengorbankan manusia dan bumi untuk kesenangan jangka pendek segelintir orang. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan keniscayaan untuk meniadakan tragedi dan untuk menghadirkan mental sehat. The 2030 Agenda for Sustainable Development: People, Planet, Prosperity, Peace, Partnership dapat menjadi kerangka acuan dalam menjalani kehidupan dan relasi dalam dunia properdamaian dengan geopolitik yang dialogis dan kooperatif, bukan geopolitik paranoid.

Wujud nyata dari sikap properdamaian adalah berbicara untuk merundingkan solusi dan bekerja sama untuk menguntungkan semua pihak. Kendati penggambaran ini berdasarkan model pembantuan individual, tapi ia dapat diekstrapolasi ke dalam masyarakat dan kehidupan relasional antarbangsa dan antarnegara melalui personifikasi pemimpin pada setiap tingkat yang mau membantu secara langsung kelompok yang menderita dan dengan sungguh-sungguh menghampiri mereka dari dalam. Pada tingkat pemimpin, penghampiran dari dalam dan hasil-hasil atau pengertian-pengertian yang dilahirkan dari penghampiran ini dapat menjadi inti dan landasan pembuatan kebijakan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Limas Sutanto

Limas Sutanto

Psikiater

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus