Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dunia di Atas Meja

Makanan, juga bahasa, baju, dan adat, adalah penanda dari mana kita berasal. Terutama di masa lalu.

27 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah tempat saya tumbuh, setidaknya ada tiga jenis makanan yang kerap tersaji: masakan Jawa, Minang, dan India. Makanan Jawa disajikan karena kami tinggal di Jawa Timur dan ibu saya bersuku Jawa. Makanan India dihidangkan karena Ayah adalah keturunan India generasi kedua. Sedangkan makanan Minang muncul karena, sebelum tinggal di Jawa Timur, Kakek menghabiskan masa mudanya di Padang, setiba dari India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga jenis makanan itu kadang disajikan bergantian. Hari ini makan pecel, besok makan rendang, dan lusa biryani. Tapi tak jarang dua jenis makanan bergabung dalam satu piring. Ketika menyantap dalca—kari dengan kacang dal—ada tempe goreng mendampinginya. Kadang bahkan ada sedikit kecap manis untuk menguatkan rasa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Campur-campur itu tak jadi masalah, karena toh kami yang menyantapnya adalah manusia gado-gado secara biologis dan budaya. Di banyak rumah lain, hal yang sama terjadi. Bagi banyak orang, makanan ada untuk mempertegas identitas budaya mereka. 

Makanan—seperti juga bahasa, baju, dan adat—adalah penanda dari mana kita berasal. Terutama di masa lalu, ketika akulturasi budaya tidak sekencang saat ini. “Dulu, makanan adalah perihal dari mana kamu berasal,” tulis John Lanchester, novelis Inggris, dalam artikel berjudul “A Foodie Repents” di The New Yorker pada 2014. “Tapi, sekarang, makanan adalah tentang tempat yang kita datangi,” katanya lagi. “Tentang kita ingin jadi apa dan hidup seperti apa yang kita pilih.” 

Tentu, Lanchester tidak menafikan kenyataan bahwa makanan masih menjadi penanda dari mana kita berasal. Hanya, dia melihat fenomena baru ketika lidah kini lebih mudah menerima makanan dari negeri yang jauh—baik yang kita datangi maupun tidak.

Saya masih ingat ayah saya dan orang-orang segenerasinya kesulitan makan setiap kali pergi ke daerah lain dan karenanya rela berjam-jam mencari rumah makan yang menyajikan masakan dari tempatnya berasal. 

Apa yang dia alami tidak terjadi pada generasi anak dan cucunya, yang tak keberatan dengan makanan dari negeri yang jauh, seperti Korea, meski belum pernah datang ke sana. Bagi anak-anak muda Indonesia penggemar K-pop, kimci sama nikmatnya dengan pecel.

Digitalisasi tentu bisa kita tuduh berada di balik semua ini. Batas-batas yang berhasil dijebol oleh media sosial membuat globalisasi dan pertukaran budaya—termasuk makanan—menjadi jauh lebih cepat. 

Bukan hanya cepat, tapi pergesekan budaya juga berbeda dari apa yang diramalkan oleh Samuel P. Huntington lebih dari 30 tahun lalu. Oliver Roy dalam The Crisis of Culture tidak lagi melihat adanya pertarungan antarkebudayaan, tapi kehancuran kebudayaan secara keseluruhan. “Yang kita sebut sebagai perang antarbudaya sebenarnya hanya pertikaian di antara puing-puing budaya,” tulisnya. 

Seluruh dunia, menurut Roy, mengalami dekulturasi—bukan sekadar akulturasi. Nilai, keyakinan, dan identitas akan tergilas semua oleh keseragaman. Dalam dunia kuliner, Roy melihat fusion food sebagai salah satu simbolisasi.

Roy mungkin terlalu muram. Tapi dia juga melihat adanya “perlawanan” di mana-mana. Salah satunya adalah obsesi kita akan makanan (dan me-review makanan lokal di media sosial), yang menurut dia merupakan salah satu bentuk kompensasi dari proses dekulturasi dunia. Kita ingin menonjolkan hal terakhir yang tersisa dari budaya kita: makanan.

Mungkin berlebihan, tapi tidak terlalu keliru jika kita melihat makanan sebagai “benteng terakhir” budaya. Hal yang pertama hilang dalam dekulturasi adalah busana, lalu merembet ke kesenian, selanjutnya adat, dan kemudian bahasa.

Jarik dan blangkon bukannya musnah, tapi tak kita pakai lagi sehari-hari. Demikian juga wayang dan ludruk yang dipertontonkan seperti kita memajang arca di museum. Dalam urusan bahasa mungkin kita lebih beruntung dari Malaysia dan Singapura: bahasa Indonesia masih dipakai dalam percakapan sehari-hari meski mulai bercampur dengan bahasa Inggris.

Yang tersisa adalah makanan. Meski saat ini kita memiliki kesempatan menikmati makanan dari berbagai negara, itu bukan berarti lidah kita sepenuhnya berubah. Saya pernah bertanya kepada ahli gastronomi William Wongso tentang makanan terenak menurut dia. Ia menjawab, “Masakan Padang.” Menurut dia, preferensi makanan itu soal pengalaman, budaya, dan kenangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus