SAMPEAN semua pernah nonton mimbar agama di televisi?'' tanya Kiai Misbah kepada jemaahnya, jemaah pengajian antariman. Disebut demikian karena pesertanya merupakan gabungan penganut berbagai agama, bahkan ada yang mengaku sudah pada taraf pasca- agama-agama. Dengan pernyataan tadi, Kiai Misbah membuka diskusi tentang sikap seseorang ketika mendengarkan mimbar agama atau keyakinan yang berbeda. Seperti diketahui, mimbar agama kini tak lagi terbatas pada topik yang hanya relevan untuk penganut agama tertentu. Ada juga tema-tema yang bersifat umum, menyangkut kepentingan orang banyak, apa pun agama atau keyakinannya. Misalnya, soal kenakalan remaja ataupun orang tua, soal etos- kerja, demokrasi, sampai soal impor sampah. Yang menarik perhatian Kiai Misbah, ketika penceramah membicarakan masalah kemanusiaan yang di-justified dengan teks kitab suci yang bukan pegangan penonton itu, umumnya penonton segera mengambil jarak, bahkan apriori, menolak keseluruhan isi ceramah, betapapun logisnya. Terakhir, tutur Kiai Misbah, terjadi di sebuah lobi terbuka. Uraian penceramah sangat menarik. Semua orang, kecuali yang menganggap kekuasaan sebagai tujuan, dijamin bisa menerimanya. Tapi, begitu ayat dari kitab suci yang bukan anutan jemaah disebutkan, seorang jemaah berpenampilan eksekutif yang tekun sekali mendengarkan segera bergumam, ''Oh, ini mimbar agama ....'' Ia kontan buang muka, menyalakan korek, merokok, dan mengobrol dengan teman di sebelahnya. Isi ceramah, yang sangat masuk akal dan perlu, seolah rontok semua hanya karena ayat kitab suci yang dianggapnya bukan miliknya. ''Apa pendapat sampean semua tentang fenomena ini?'' tanya Kiai Misbah memancing. ''Lumrah, Kiai. Itu sikap sportif. Karena si penonton tidak merasa memiliki kitab suci itu, ia pun tidak mau mendengarkannya,'' jawab seorang jemaah. ''Saya setuju,'' jemaah yang lain menimpali. ''Seseorang seharusnya memang tidak menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Cuma, yang saya sendiri masih ragu, apakah kitab suci memang bisa diklaim sebagai milik seseorang atau segolongan, seperti layaknya rumah, kendaraan, uang, atau kartu kredit? Haruskah dituduh mencuri, seorang Kristen yang mencoba membaca Alquran, atau seorang muslim yang mengkaji Injil?'' Pengajian itu segera berkembang menjadi diskusi yang mempertanyakan banyak hal. Siapa sebenarnya pemilik kitab suci, pemegang copy right-nya? Apakah ia memang sejenis barang material yang bisa menerima klaim eksklusif dari orang atau kelompok tertentu? Apakah hakikat kitab suci itu? Untuk apa dan buat kepentingan siapa sebenarnya ia datang? Berperan sebagai pengantar diskusi, Kiai Misbah sendiri tak banyak bicara. Tapi ia tampak bahagia melihat majelis pe- ngajiannya dapat menggugah banyak orang untuk mempertanyakan klaim kemutlakannya sendiri, yang selama ini diyakininya secara apriori. Ketika diskusi hampir buntu, seorang peserta muda yang tidak menyebutkan namanya angkat bicara: ''Menurut saya, kemelut di seputar kitab suci itu terjadi karena umat beragama terjebak oleh sosok lahiriah kitab suci itu sendiri: bahasanya, idiom-idiomnya, dan tidak ketinggalan tokoh-tokoh mediator (mubalig)-nya. Sehingga, mereka pun mengira bahwa esensi kitab suci tidak lain adalah wujud fisik dan simboliknya bukan kandungan makna spiritual dan moralnya. Bahwa kitab suci harus hadir kepada manusia dalam bentuk fisik dan simbolik, itu tidak terelakkan. Sebab, manusia sendiri sebagai audiensnya adalah makhluk yang dalam proses meng-ada- nya hadir secara fisik dan simbolik.'' Lalu pembicara itu mengutip ayat Alquran: ''Sekiranya malaikat yang Kami jadikan utusan, pastilah ia Kami hadirkan dalam sosok seorang manusia juga.'' Kemudian ia melanjutkan dengan mengutip Abulhasan al-Asy'ari, teolog asal Irak dari abad ke-9: ''Kitab suci, kalam Tuhan, pada hakikatnya adalah 'makna'. Sedangkan kata atau bahasa adalah simbol dari makna itu. Simbol atau bahasa adalah makhluk sejarah yang nisbi, sedangkan makna di balik bahasa adalah cahaya ilahiah yang absolut azali. Simbol bisa diklaim oleh seseorang atau kelompok. Tapi makna pasti tidak. Makna adalah milik semua kita, manusia.'' Semua terdiam, sampai Kiai Misbah memberikan sedikit komentar dan bertanya tentang implikasi pendapat pembicara muda ini. Si pembicara menjawab tegas, ''Kitab suci harus dibiarkan go public, diberikan kembali kebebasannya untuk hadir, berkomunikasi, dibaca, dan dipahami oleh siapa saja.'' ''Tunggu,'' sergah seorang jemaah, ''kita tak boleh gegabah. Memahami kitab suci perlu ilmu macam-macam.'' ''Baik, tapi itulah mitos lama, yang membuat kitab suci ter- asing dari manusia. Memahami kitab suci memang perlu syarat, tapi syarat yang paling dasar adalah kejujuran si pembaca terhadap sinyal nuraninya sendiri untuk meyakini yang layak di- yakini, mempertanyakan yang layak dipertanyakan, bahkan menolak yang layak ditolak. Untuk itu, seorang pembaca kitab suci terlebih dahulu harus mampu membebaskan diri dari belenggu otoritas siapa pun, di luar dirinya, di luar suara nuraninya,'' jawab anak muda itu. Jemaah terperangah. ''Saya salut pada pendapat sampean. Tapi ... sampean itu siapa?'' tanya Kiai Misbah bergetar. ''Maaf, Kiai. Saya hanyalah seorang manusia .... Ya, seorang manusia.''
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini