Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Daftar Sekolah

Jika pemerintah adil dan mau melaksanakan pendidikan untuk semua warganya tanpa kecuali, PPDB ini harus dievaluasi. 

30 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH menjelang awal tahun ajaran baru pada saat orang tua mendaftarkan anak-anaknya mencari sekolah adalah kehebohan yang sudah menjadi tradisi tahunan. Setidaknya sejak keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Kebijakan ini, selain mengatur batas usia anak masuk sekolah sesuai dengan jenjang pendidikan, mengatur bagaimana cara mendaftarkan anak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak pernah ada evaluasi meskipun setiap tahun ada korban PPDB yang umumnya kalangan menengah bawah, terutama para keluarga prasejahtera atau sebut saja dengan bahasa yang tidak enak: keluarga miskin. Negara seperti mengabaikan hak orang miskin untuk mengecap pendidikan. Padahal niat mulia peraturan menteri itu justru menghilangkan kesenjangan yang terjadi: ada sekolah favorit yang diisi orang-orang berada dan ada sekolah yang biasa-biasa saja. Orang tua murid yang kaya bebas memasukkan anaknya di sekolah mana saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesenjangan itu yang mau dihapus. Lewat program PPDB, orang tua tak bebas memasukkan anaknya ke sekolah tertentu. Salah satu jalur dalam PPDB ada yang disebut jalur zonasi. Setiap anak didik baru harus didaftarkan di sekolah yang terdekat. Tanpa perlu dilihat apakah sekolah itu favorit dan gurunya lebih bermutu atau sekolah yang biasa-biasa saja. Seirama dengan itu, Kemendikbudristek juga merotasi guru-guru, sehingga tak ada istilah sekolah ini gurunya bagus-bagus dan sekolah itu gurunya kurang bagus.

Secara teori, peraturan ini bagus. Namun ada berbagai celah yang bisa dilakukan agar orang tua bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang dikehendaki. Program PPDB punya berbagai jalur selain soal zonasi. Ada tiga lagi jalurnya, yakni jalur afirmasi untuk kalangan keluarga kurang mampu, ada jalur perpindahan tugas orang tua, dan ada jalur prestasi. Namun ketiga jalur ini jatahnya kecil. Sebagian besar, 80 persen, jatah itu untuk jalur zonasi.

Di mana celah kecurangan itu? Untuk jalur zonasi, peserta didik harus melampirkan alamat yang sesuai dengan kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat satu tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Ada pengecualian, jika peserta didik tidak memiliki kartu keluarga karena keadaan tertentu, dapat diganti dengan surat keterangan domisili yang dilegalisasi oleh lurah/kepala desa. Apa sulitnya orang kaya mencari surat domisili itu? Apalagi sebelumnya “sudah kontak” dengan guru di sekolah tertentu.

Untuk jalur prestasi, dilihat dari prestasi akademik dan nonakademik. Prestasi akademik dilihat dari nilai rapor lima semester terakhir yang dilengkapi dengan surat keterangan peringkat rapor dari sekolah asal. Prestasi nonakademik dilihat dari penghargaan dalam berbagai lomba pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Bisa lomba olahraga, kesenian, dan sebagainya. Jelas calon siswa dari kalangan tidak mampu mudah tersisih dalam jalur ini. Sedangkan lewat jalur afirmasi, kuotanya kecil dan ada keengganan menggunakan jalur ini karena harus menyertakan surat keikutsertaan dalam Program Penanganan Keluarga Tidak Mampu dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Jika pemerintah adil dan mau melaksanakan pendidikan untuk semua warganya tanpa kecuali, PPDB ini harus dievaluasi. Misalnya dengan cara orang tua cukup mendaftarkan anaknya di kantor dinas pendidikan kecamatan atau instansi sejenis yang namanya bisa berbeda di setiap daerah. Aparat tingkat kecamatan inilah yang kemudian memutuskan di mana peserta didik itu mendapatkan sekolah. Tentu berdasarkan data yang disetorkan peserta didik. Semua anak harus tertampung dengan melibatkan sekolah swasta. Jadi, orang tua tak perlu repot sepanjang aparat yang bertugas itu bekerja dengan baik dan adil berdasarkan data yang ada. Cara seperti ini sudah diberlakukan di negara lain, misalnya di Finlandia dan Australia. Agaknya cara ini perlu ditiru meski selalu ada celah kecurangan jika pelaksananya tidak jujur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus