Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mundurnya Ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila Yudi Latif mempertontonkan kekusutan di lembaga yang masih belia itu. Yudi mundur ketika publik belum merasakan manfaat kehadiran badan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo mengangkat Yudi sebagai Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila pada Juni tahun lalu. Presiden membentuk unit khusus itu untuk memadamkan intoleransi ataupun kelompok anti-Pancasila yang berkembang di masyarakat. Maret lalu, unit kerja itu berubah menjadi Badan Pembina Ideologi Pancasila. Sampai Yudi mundur, intoleransi ataupun radikalisme masih merebak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak gagasan pembentukan lembaga ini mencuat, tak sedikit yang ragu akan urgensi serta efektivitasnya. Pelbagai kalangan memandang pembentukan lembaga pembinaan pemahaman Pancasila bukanlah jawaban atas intoleransi dan radikalisme. Hal itu justru kembali mengingatkan orang akan organ "indoktrinasi" pada masa Orde Baru.
Alasan Yudi mundur, yakni karena kepemimpinan BPIP perlu penyegaran, sulit dicerna logika. Toh, seperti halnya badan yang ia pimpin, Yudi masih segar bugar. Spekulasi pun mencuat karena Yudi mundur tak lama setelah BPIP menjadi sorotan. Terakhir, yang disorot adalah "gaji" pengurus badan tersebut yang terbilang "wah". Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018, gaji ketua dan anggota Dewan Pengarah adalah Rp 112,5 juta dan Rp 100,8 juta. Adapun gaji kepala badan tersebut sebesar Rp 76,5 juta.
Penjelasan Yudi, bahwa Dewan Pengarah dan Pelaksana belum mendapat "hak keuangan" setelah setahun bekerja, malah memicu spekulasi lain bahwa ternyata perencanaan serta pengelolaan lembaga ini tidak matang. Lebih mendasar lagi, hal itu memunculkan pertanyaan tentang komitmen para pengurus badan tersebut.
Tidak elok pula bila pemimpin lembaga pembina ideologi yang "luhur" itu mundur gara-gara urusan gaji yang belum cair. Lain cerita bila Yudi mundur karena alasan yang lebih prinsipil, publik boleh jadi akan mengapresiasi ikhtiar dia selama menjabat serta pilihannya untuk mundur.
Jika spekulasi semacam itu dibiarkan liar, dukungan publik atas agenda penguatan ideologi negara bisa memudar. Karena itu, pemerintah harus segera memperjelas masalah serta mencari jalan keluarnya. Lebih penting dari sekadar memadamkan bara di dapur BPIP, Presiden Joko Widodo seyogianya memikirkan ulang keberadaan lembaga tersebut.
Pengalaman di banyak negara membuktikan intoleransi dan radikalisme tumbuh subur di tengah ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, serta lemahnya penegakan hukum. Karena itu, alih-alih membentuk badan pembinaan ideologi, pemerintah Joko Widodo sebaiknya berfokus mengurangi ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial sembari menindak tegas kelompok intoleran dan radikal yang melanggar hukum.