Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT menyaksikan video peristiwa penyiksaan warga Kabupaten Puncak, Papua Tengah, oleh sejumlah prajurit Batalyon Infanteri Raider 300/Braja Wijaya yang beredar di media sosial, sejumlah pertanyaan muncul dalam benak penulis. Kapan konflik dan kekerasan di tanah Papua berakhir? Apakah kesuburan kekayaan sumber daya alam di tanah Papua memiliki signifikansi dengan suburnya konflik dan kekerasan di sana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik di Papua telah berlangsung sejak wilayah ini “menyatu” dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1963, yang disahkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat enam tahun setelahnya. Hal ini membuat konflik dan kekerasan di Papua menjadi yang terlama dalam sejarah peradaban modern bangsa Indonesia. Kekerasan yang terjadi pada 3 Februari 2024 di Puncak Papua memperlihatkan kembali bahwa marginalisasi manusia dan kemanusiaan terhadap orang asli Papua terus berjalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik yang inheren dengan kekerasan dan terus dilestarikan itu kemudian menjadi sumber utama ketidakstabilan politik serta penghalang kemajuan masyarakat Papua. Memang, pemerintah membuat segudang paket kebijakan dan program pembangunan yang bertujuan memajukan Papua. Misalnya, pemberlakuan otonomi khusus melalui perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 juncto UU Nomor 2 Tahun 2021.
Ada pula paket peraturan pemerintah, peraturan presiden, sampai pembentukan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua serta pemekaran provinsi melalui daerah otonom baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur digencarkan, seperti pembangunan jalan Transpapua hingga perhelatan Pekan Olah Raga Nasional 2020. Jokowi pun tercatat sudah 17 kali berkunjung dan menginjakkan kaki di Papua.
Namun semua kebijakan dan program pembangunan itu tak bermakna apa-apa jika konflik dan kekerasan masih dikekalkan. Masyarakat akan menjadi apatis terhadap aneka kebijakan dan program pemerintah tersebut. Bahkan, di kalangan generasi muda Papua, akan muncul dendam akibat terus-terusan hidup di tengah pusaran konflik dan kekerasan. Mereka akan melihat pemerintah Indonesia sebagai penjajah karena tindakan aparat yang mengadopsi serta menerapkan cara dan gaya kolonialme abad ke-19 yang telah usang di Papua. Masyarakat yang selalu terkungkung dalam pusaran konflik tidak pernah dapat keluar dari lingkaran setan kekerasan. Korban pun akan terus berjatuhan.
Sikap TNI yang menjatuhkan sanksi tegas kepada prajurit yang menyiksa warga sudah sepantasnya dilakukan. Namun institusi militer ini juga harus menjaga dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Hal ini bukan hal yang mudah dilakukan. Pendekatan hukum dan sanksi itu mesti dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh, bukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum ansich, tapi juga demi memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Presiden, selaku panglima tertinggi militer, perlu memerintahkan pimpinan TNI agar mengevaluasi kebijakan pengiriman pasukan dari luar daerah ke Papua.
Tanpa menjalankan pendekatan hukum untuk dan menghentikan pengiriman pasukan, kebijakan percepatan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan di Papua tak akan pernah membuahkan hasil. Sebab, konflik dan kekerasan akan terus terjadi. Selain itu, perlu dilakukan dialog yang intens antara pemerintah dan masyarakat Papua agar tercipta kesepahaman bersama. Dialog dilakukan bukan saja dengan jajaran pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, tapi juga dengan generasi muda Papua.
Sebagian anak muda Papua saat ini telah akrab dengan teknologi digital. Kelompok strategis ini merupakan kekuatan sosial baru. Mereka mampu membangun jaringan dengan pihak-pihak di luar Papua, bahkan di tingkat global. Mereka memiliki latar pendidikan yang baik, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, serta mampu berbahasa asing. Mereka lahir justru melalui kebijakan otonomi khusus.
Kehadiran generasi muda yang cerdas ini menjadi suatu kekuatan baru di Papua. Mereka menjadi kelompok intelektual baru yang harus dilibatkan dalam menentukan nasib dan masa depan tanah kelahiran mereka sendiri. Keberadaan mereka harus menjadi perhatian pemerintah dan ikut dilibatkan dalam dialog-dialog bersama.
Pendekatan komprehensif untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua mutlak diperlukan. Jangan sampai kita melewatkan momentum ini. Telah banyak kajian dan penelitian para pakar yang bisa dijadikan rujukan dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik di Papua. Karena itu, sudah saatnya pemerintah juga menetapkan batas waktu penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua. Tanpa batas waktu yang jelas, upaya penyelesaian konflik ibarat menunggu ayam tumbuh gigi. Tak akan pernah terjadi.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.