Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan DPR sepakat ibu kota negara pindah dari Jakarta ke Kalimantan.
Keputusannya melalui pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara sistem kebut semalam dan minim partisipasi publik.
Mengancam lingkungan dan anggaran negara.
ADA banyak alasan mengapa proyek pemindahan ibu kota negara patut ditolak.
Karena itu, gugatan terhadap keputusan pemerintah Joko Widodo yang sudah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut perlu diajukan untuk mencegah kerusakan yang bakal terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemindahan jelas tidak memenuhi praktik bernegara yang baik. Penyusunan undang-undang untuk landasan hukum proyek dilakukan ugal-ugalan. Jelas sekali pemerintah dan DPR mengabaikan asas pembentukan undang-undang, terutama soal keterbukaan. Partisipasi publik dalam perumusan kebijakan tersebut sangat minim, bahkan sejak pemindahan ibu kota dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2019. Hasil kajian pemerintah atas rencana tersebut tak pernah dibuka ke publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dikirimkan ke DPR, tak ada upaya sungguh-sungguh pemerintah dan Senayan meminta masukan dari warga negara. Padahal rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu menelan anggaran Rp 466,9 triliun dan setidaknya 20 persen di antaranya menggunakan uang rakyat. Mulai dibahas pada 7 Desember 2021 setelah panitia khusus terbentuk, rancangan disahkan pada 18 Januari lalu. Dalam durasi yang relatif singkat itu, pembahasannya terkesan tertutup.
Pemindahan ibu kota diperkirakan merusak tata air, menghancurkan habitat flora dan fauna, serta menimbulkan pencemaran. Penajam Paser, yang kelak menjadi lokasi ibu kota, adalah wilayah tangkapan air yang mendukung kebutuhan air bersih wilayah sekitarnya, termasuk Balikpapan. Pembukaan tutupan lahan tak akan terhindarkan, baik di titik lokasi maupun daerah sekitarnya. Deforestasi kian mengancam lanskap kawasan yang telah dikepung konsesi tambang, hutan, hingga sawit tersebut.
Dari sisi pembiayaan, pembangunan ibu kota baru bakal kian membebani keuangan negara. Di tengah defisit yang menganga, yang sebagian besar ditimbulkan biaya penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, menambah pos pengeluaran baru bukanlah keputusan yang bijak. Gagasan Menteri Keuangan Sri Mulyani memasukkan anggaran pembangunan ibu kota baru ke program pemulihan ekonomi malah ngawur. Sesuai dengan aturan, program itu dimaksudkan melindungi dan membangkitkan ekonomi masyarakat selama masa pandemi. Pembangunan ibu kota baru tak masuk kriteria itu.
Tak ada jaminan bahwa komposisi 20 persen pembiayaan yang bersumber dari kas negara tak akan membengkak. Sisanya, 80 persen, memang diproyeksikan berasal dari badan usaha milik negara atau daerah dan swasta serta kerja sama pemerintah dan badan usaha. Berdasarkan pengalaman, sejumlah proyek yang awalnya didanai perusahaan pelat merah berujung pada penyertaan modal negara ke BUMN tersebut. Kerja sama pemerintah dan badan usaha juga berarti ada pengembalian investasi ke badan usaha tersebut. Pendeknya, negara tetap merogoh kocek.
Dalih pemerintah bahwa pemindahan ibu kota untuk pemerataan bisa didebat. Pemerataan akan sulit tercapai karena yang dibangun bukanlah kota pusat bisnis. Alasan tersebut makin rapuh karena sejak 20 tahun lalu kita punya instrumen otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk memacu pemerataan pembangunan. Pemerintah pun telah membangun kawasan ekonomi khusus untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan.
Sampai di sini, kita sudah bisa mempertanyakan motivasi sesungguhnya di balik ketergesa-gesaan pemindahan ibu kota. Pertanyaan ini akan terus mengapung karena remang-remangnya proyek tersebut sejak dicetuskan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo