Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kondisi perberasan sepanjang 2021 relatif tidak ada masalah serius.
Produksi padi terus naik dan stok melimpah.
Namun harga gabah di petani terus jatuh dan penyaluran beras tak terkendali.
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Ironi Negeri Beras
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah boleh bertepuk dada karena kondisi perberasan sepanjang 2021 relatif tidak ada masalah serius. Dari sisi produksi, Badan Pusat Statistik memperkirakan produksi padi pada 2021 mencapai 55,27 juta ton gabah kering giling (GKG), setara dengan 31,69 juta ton beras. Jumlah ini lebih tinggi 1,14 persen dari 2020 dan lebih tinggi 1,21 persen dari 2019. Bila dikurangi konsumsi 30,03 juta ton beras, ada surplus 1,65 juta ton beras pada 2021. Surplus kian besar, yang mencapai 10,37 juta ton, jika ditambah akumulasi surplus pada 2020. Stok ini tersebar di rumah tangga, petani, pedagang, penggilingan, dan tempat lain, termasuk 1 juta ton di Bulog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Capaian ini patut disyukuri. Sebab, kenaikan produksi terjadi tatkala luas panen menurun dalam tiga tahun berturut-turut. Luas panen tahun lalu turun 1,33 persen, dari 10,657 juta hektare pada 2020 menjadi 10,515 juta hektare pada 2021. Produksi padi naik 2,49 persen, dari 5,128 ton per hektare pada 2020 menjadi 5,256 ton per hektare pada 2021. Capaian ini sekaligus mematahkan rencana impor beras 1 juta ton pada awal 2021. "Rapor biru" kian komplet karena pada 2021 beras keluar dari biang inflasi. Andil inflasi pangan pada 2021 memang masih tinggi, yakni sebesar 42,24 persen dari inflasi 1,87 persen, tapi biangnya bukan beras.
Benarkah kondisi perberasan baik-baik saja? Di balik "rapor biru" itu, sejatinya perberasan nasional mengidap masalah amat serius yang memerlukan intervensi segera. Selama ini, ada kecenderungan pembiaran terhadap salah urus perberasan. Hal ini membuat masalah sempat muncul dalam aneka simtom, yang sialnya tidak sepenuhnya dipahami orang awam. Barangkali masyarakat akan ngeh jika "bom waktu" telah meledak. Pembiaran ini sebenarnya sudah "memakan" korban. Yang paling terkena dampak dari kebijakan perberasan nasional saat ini adalah petani padi dan penggilingan, tapi mereka selama ini hanya diam.
Selama 21 bulan berturut-turut, sejak April 2020 hingga September 2021 (BPS, 2022), kasus harga gabah di petani dan penggilingan yang jatuh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) terus terjadi. Pada 2021, jumlah kasus bulanan sebanyak 5,29-46,66 persen terjadi di petani, sementara di penggilingan 5,43-44,68 persen. Umumnya, kasus harga gabah jatuh terjadi saat panen raya (Februari-Mei). Persentasenya pun kecil. Pada 2016-2019, misalnya, persentase harga jatuh tertinggi hanya 11 persen dan harga jatuh hanya 3-5 bulan per tahun. Itu berarti saat ini kasus harga jatuh tak mengenal musim panen atau paceklik.
Dibanding pada 2020, derita petani padi lebih berat pada 2021. Pertama, pada 2020, persentase harga jatuh cukup rendah, antara 1,13 persen dan 17,89 persen di petani dan sebesar 0,61-17,42 persen di penggilingan. Pada 2021, tingkat kejatuhan jauh lebih tinggi. Kedua, pada tiga bulan awal (Januari-Maret) 2020, tak ada harga jatuh di bawah HPP. Sebaliknya, pada 2021, kasus harga jatuh terjadi sepanjang tahun.
Mengapa ini terjadi? Pasar beras tampaknya sudah lesu dan jenuh. Tidak hanya karena pandemi dan banyaknya bantuan sosial berupa beras, tapi juga karena Bulog sebagai pembeli terakhir dan penggairah pasar tidak berfungsi normal.
Tanpa banyak disadari, perubahan drastis kebijakan subsidi pangan sejak 2017, dari program beras untuk keluarga miskin (raskin) hingga beras untuk keluarga sejahtera (rastra), menjadi bantuan pangan non-tunai (BPNT) atau program bahan pokok saat ini. Kebijakan tersebut telah mengubah total kebijakan perberasan nasional. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan yang semula terintegrasi hulu-tengah-hilir, dari pengadaan, pengelolaan, hingga penyaluran, kini jadi terfragmentasi. Kebijakan perberasan yang bertahun-tahun telah terintegrasi kini terbuka di hilir.
Di hulu, Kementerian Pertanian mewajibkan Bulog menyerap gabah/beras petani sesuai dengan harga pembelian pemerintah agar petani terlindungi dari kerugian. Di tengah, Bulog mengelola dan mendistribusikan beras ke seluruh wilayah Nusantara. Di hilir, Bulog menyalurkan beras untuk korban bencana, bantuan pangan, dan operasi pasar. Di luar itu, tatkala masih ada raskin/rastra, Bulog bisa menyalurkan hampir 3 juta ton beras per tahun untuk pasar tertawan, yakni 15,5 juta keluarga.
Setelah berubah menjadi program bahan pokok, keluarga sasaran tak lagi menerima beras Bulog, melainkan menerima uang transferan setiap bulan sebesar Rp 200 ribu. Uang itu hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, seperti beras, di outlet yang ditunjuk. Penyedia beras di outlet bisa siapa saja (pasar bebas) dan salah satunya Bulog. Dibanding rastra, program bahan pokok lebih tepat administrasi, sasaran, dan waktu. Tepat kualitas, harga, dan jumlah tak lagi relevan karena penerima bantuan dapat memilih beras sesuai dengan preferensi masing-masing. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan juga tidak perlu menyediakan uang Rp 1.600 per kilogram beras untuk menebus beras seperti pada rastra. Dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pendamping dari kabupaten/kota, seperti saat rastra, dapat dihapus dan direalokasikan untuk keperluan lain. Itulah pelbagai keuntungan dari perubahan ini.
Masalahnya, seiring dengan perubahan itu, penyaluran beras Bulog di hilir anjlok drastis, dari rata-rata 2,825 juta ton pada periode 2014-2017 menjadi tinggal 351 ribu ton pada 2019 dan habis pada 2020. Sebagai pengganti outlet penyaluran yang hilang, pemerintah menyediakan opsi operasi pasar yang disebut sebagai ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH). Agar volumenya besar, operasi pasar digelar sepanjang tahun. Selain menyalahi prinsip dasar operasi pasar, yang hanya dilakukan saat harga tinggi, langkah ini membuat subsidi terarah menjadi tercemar oleh subsidi umum. Lebih dari itu, cara ini juga membuat salah urus perberasan nasional semakin akut karena outlet tersebut sejatinya tidak menjamin kepastian stok beras.
Dari sisi regulasi, seperti yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015, Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016, dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016, kebijakan perberasan sebetulnya masih terintegrasi. Tapi implementasinya terbuka di hilir. Karena itu, tatkala tidak ada lagi penyaluran beras di hilir, sebenarnya tak relevan lagi untuk mengharuskan Bulog menyerap gabah/beras petani di hulu. Akan dikemanakan beras hasil serapan itu? Beras, selain bersifat bulky, mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran pasti dan mekanisme pengeluaran stok lama, kewajiban Bulog menyerap gabah/beras petani bisa dipastikan bakal membuat badan usaha milik negara ini oleng dan pelan-pelan bangkrut.
Saat ini, di gudang Bulog masih ada 239.958 ton beras, yang terdiri atas sisa impor 2018 (104.349 ton) serta sisa pengadaan domestik pada 2018 (11.332 ton) dan 2019 (123.278 ton). Ini berarti beras tersebut sudah berusia lebih dari 2-3 tahun. Beras yang disimpan lama pasti kualitasnya menurun. Tanpa outlet pasti dan mekanisme pengeluaran stok lama, beras ini akan menumpuk serta menjadi beban Bulog dan pemerintah. Bagi Bulog, yang beroperasi dengan dana bank berbunga komersial, pembiaran ini membuat "argo" bunga terus berputar. Kian lama dibiarkan akan membuat kebijakan perberasan kian tak terurus.
Seiring dengan hilangnya outlet penyaluran pasti di hilir, manajemen Bulog mengerem penyerapan domestik. Pada periode 2010-2016, rata-rata penyerapan beras sebanyak 2,4 juta ton per tahun, tapi dalam tiga tahun terakhir (2019-2021) hanya 0,981 juta ton per tahun. Hal ini bisa dimaknai bahwa cara direksi Bulog menjaga keseimbangan adalah tetap menunaikan fungsi publik (yang kian minimal) dan tidak merugi. Manajemen Bulog tak bisa disalahkan. Sebagai perusahaan umum, direksi harus mengejar untung. Jika merugi, direksi bisa dianggap tak becus dan kursinya bakal melayang.
Perubahan drastis kebijakan perberasan ini membuat kebijakan menjadi fragmentaris. Petani menjadi pihak paling dirugikan akibat perubahan tersebut. Saat ini, selain daya beli masyarakat yang lesu karena terpukul pandemi Covid-19, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras membuat pasar lesu. HET beras membuat harga gabah/beras semakin stabil sejak lima tahun terakhir. Tapi pasar menjadi lesu karena tak ada insentif harga untuk perdagangan antardaerah dan antarmusim. Penggilingan/pedagang juga mengerem penyerapan karena merosotnya insentif giling gabah, menyetok beras, dan mendistribusikannya.
Dalam kondisi demikian, pemerintah bisa menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian dan masuk ke pasar agar pasar kembali bergairah. Masalahnya, karena salah urus, Bulog sebagai penyelamat terakhir justru mengerem penyerapan. Bulog, yang seharusnya menjadi penolong dan pembela petani, ironisnya justru saat ini membutuhkan pertolongan segera.
Agar salah urus perberasan ini tidak berlanjut dan berlarut-larut, ada kebutuhan mendesak untuk mereformulasi kebijakan perberasan. Kebutuhan paling penting dan segera adalah mengintegrasikan lagi kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo