Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengurai Polemik Dana Kelurahan

Rencana pemerintah mengucurkan Dana Kelurahan sebesar Rp 3 triliun yang diambilkan dari Dana Desa dalam skema RAPBN 2019 menuai polemik.

29 Oktober 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Jokowi menyimak aspirasi dari para wali kota saat silaturahmi di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin, 23 Juli 2018. Silaturahmi Presiden dengan para wali kota tersebut untuk menampung keluhan dan aspirasi di setiap daerah, di antaranya permintaan dana untuk kelurahan. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misbah Hasan
Sekjen Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana pemerintah mengucurkan Dana Kelurahan sebesar Rp 3 triliun yang diambilkan dari Dana Desa dalam skema RAPBN 2019 menuai polemik. Aturan operasional, sumber pendanaan, dan mekanisme pengawasannya perlu se-gera dibenahi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polemik bermula ketika pemerintah secara serta-merta merespons usul Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) tentang kebutuhan dana untuk peningkatan kinerja kelurahan. Apeksi menyatakan bahwa banyak kelurahan menuntut keadilan dan "cemburu" terhadap desa yang mendapat kucuran Dana Desa hingga Rp 187,6 triliun selama 2015-2018. Pemerintah lantas memotong Dana Desa sebesar Rp 3 triliun, yang sebelumnya dianggarkan sebesar Rp 73 triliun pada RAPBN 2019. (Koran Tempo, 23 Oktober 2018). Memasuki tahun politik, kebijakan pemerintah soal Dana Kelurahan pun dianggap "pencitraan" karena sebelumnya tidak masuk dalam RAPBN 2019.

Berbeda dengan desa, kelurahan merupakan pe-rangkat daerah kabupaten/kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan, bukan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai kewenangan otonom sebagaimana desa. Meski demikian, sebagai perangkat daerah, kelurahan tetap berhak mendapatkan dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota, bantuan pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota dan pihak ketiga serta sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.

Sumber keuangan kelurahan dipertegas kembali dalam Pasal 230 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 30 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan. Keduanya menyatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembangunan sarana-prasarana kelurahan, pemberdayaan masyarakat di kelurahan, pelayanan masyarakat, serta pembinaan lembaga kemasyarakatan. Untuk kabupaten/kota yang tidak memiliki desa, alokasinya paling sedikit 5 persen dari APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK). Adapun bagi daerah yang memiliki desa, alokasi anggaran kelurahan paling sedikit sebesar Dana Desa terendah yang diterima oleh desa di daerah tersebut.

Pada prinsipnya, alokasi dana APBN untuk kelurahan adalah niscaya. Selain sebagai bagian dari komitmen untuk mendekatkan pelayanan publik lebih mudah diakses oleh masyarakat, persoalan perkotaan sangat kompleks, dari sampah, minimnya ketersediaan air bersih dan air minum, sanitasi yang tak layak, hingga buruknya penataan bangunan permukiman. Dalam mengatasi persoalan tersebut, selama ini pendanaan kelurahan sangat bergantung pada APBD yang dikelola kecamatan. Lurah selaku pimpinan kelurahan bukan kuasa pengguna anggaran, sehingga otoritas dan kewenangannya sangat terbatas. Ini terutama terjadi pada kabupaten/kota yang belum menetapkan kelurahannya menjadi organisasi perangkat daerah.

Agar wacana tentang Dana Kelurahan tidak terjebak dalam polemik yang berkepanjangan dan cenderung politis, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah. Pertama, melaksanakan amanat Pasal 230 Undang-Undang Pe-merintah Daerah secara konsekuen, yakni sumber dana kelurahan berasal dari APBD. Pemerintah lalu perlu membuat aturan operasional mengenai tata cara pengalokasian, pemanfaatan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan serta penyelenggaraan musyawarah pembangunan kelurahan.

Kedua, merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 73 Taun 2005 tentang Kelurahan. Kedudukan kelurahan diperkuat dan lurah diberi kewenangan lebih sebagai kuasa pengguna anggaran. Sumber keuangan kelurahan ditambah dengan sumber APBN. Ketiga, mencari sumber Dana Kelurahan dari peningkatan pendapatan negara atau efisiensi belanja kementerian/lembaga, bukan dari pemotongan Dana Desa.

Keempat, membangun mekanisme pengawasan Dana Kelurahan yang melibatkan masyarakat. Kelurahan tidak memiliki lembaga pengawas seperti Badan Permusyawaratan Desa. Untuk itu, selain diawasi kecamatan, ma-syarakat kelurahan perlu ditingkatkan partisipasinya dalam mengawal Dana Kelurahan.

Penguatan anggaran bagi kelurahan tanpa mengurangi jatah Dana Desa merupakan upaya untuk mensinergikan pembangunan hingga ke level mikro. Harapannya, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat menjadi lebih optimal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus