Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Merah

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku berdiri di Ukraina yang berduka
disalib Moskow di tiang pancang yang lurus

Sajak itu ditulis, lalu kertasnya dibakar, dan ditulis kembali dari ingatan di negeri jauh yang aman. Penulisnya Oleksa Hai-Holovko, tahun 1933-tahun Holodomor, tahun "Kelaparan Besar". Suaranya murung, tapi sebenarnya geram. Ia mengenang kematian 10 juta orang Ukraina yang kekurangan pangan setelah dipaksa mengikuti kebijakan Stalin.

Awal 1930-an, Stalin, dari kursinya di Kremlin, menitahkan industrialisasi. Tanah-tanah pertanian harus menopang pembangunan itu, dan agar lebih efektif, pertanian dijadikan satu usaha kolektif. Tanah milik pribadi diambil alih. Tiap orang harus bekerja dalam kelompok, harus memenuhi kuota yang ditetapkan bagi hasil kerja yang harus diserahkan kepada Negara. Keputusan ini tak boleh dibantah. Yang menentang akan dianggap sebagai "kulak"-tuan tanah, setan desa-dan ditangkap.

Ketakutan pun meluas. Kemudian kelaparan. Dan Holodomor jadi dendam nasionalisme Ukraina.

Masa lalu yang punya endapan buruk bisa keruh bertahun-tahun. Kebencian dan purbasangka berhadapan, tusuk-menusuk. Orang tak tahu apa yang harus dilakukan. Terutama ketika jejak sejarah adalah pembunuhan.

"Kita punya hubungan khusus dengan kematian," tulis Svetlana Alexievich dalam La fin de l'homme rouge ("Akhir Manusia Merah"). "Apa harga hidup manusia jika di masa lalu yang belum lama jutaan orang mati karena kekerasan? Kita dipenuhi kebencian dan prasangka. Kita semua datang dari sana, negeri yang mengalami Gulag, tempat-tempat tahanan disekap dan sebuah perang yang mengerikan…."

Svetlana Alexievich, pada usia 66 tahun, mungkin satu-satunya penulis di negeri bekas Uni Soviet yang telaten mengusut masa lalu itu. Yang khas pada hampir semua karyanya, juga pada buku terbaru ini: ia menakik ingatan orang-orang yang tak dikenal. Di tengah kuburan luas dan sisa pertumpahan darah yang bernama Rusia, katanya, berlangsung "sebuah dialog yang abadi antara algojo dan para korban". Dan pertanyaan yang terkutuk adalah (bagi orang Rusia, tapi menurut saya juga bagi orang bukan Rusia, misalnya orang Indonesia) "apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus disalahkan".

Svetlana Alexievich mendengarkan suara mereka yang disebutnya sebagai Homo Sovieticus: jenis manusia yang diciptakan oleh "laboratorium Marxisme-Leninisme" selama 70 tahun. "Rasanya aku kenal orang ini," tulisnya. "Aku bahkan mengenalnya dengan baik; kami hidup berdampingan bertahun-tahun. Dia-itulah aku. Ia jenis orang-orang yang sering aku temui, teman-temanku, orang tuaku. Aku berkelana di seantero wilayah yang dulu Uni Soviet… sebab homo sovieticus bukan hanya orang Rus, tapi juga Belarus, Turkmeni, Ukraina, Kazakh…."

Orang-orang ini dengan segera bisa saling cocok. Mereka punya "kamus" sendiri. Ada kata-kata yang terdengar berulang dalam hampir tiap percakapan, "tembak", "bedil", "dilikuidasi". Kekerasan, pembasmian, tampaknya merayap dalam bahasa dan di bawah sadar.

Mereka, kata salah seorang yang direkam, sulit untuk melihat masa lalu dengan garis jelas tentang benar dan salah. Di masa lalu itu, masa sosialisme, hidup lebih intens karena ada yang dikorbankan untuk sesuatu yang ideal. Semua dihalalkan-baik kebrutalan maupun nasib penderitanya.

"Kenapa kita belum mengadakan pengadilan atas Stalin?" kata salah seorang yang ditemui Svetlana Alexievich. "Untuk menghakimi Stalin orang harus menghakimi pula keluarganya sendiri, orang-orang yang dikenalnya…. Bukan hanya Stalin atau Beria… tapi juga Yura, dan Olya yang cantik itu." Maka, kita tak bisa menjadi hakim menurut "hukum logika". Kita harus menghakimi berdasarkan "keyakinan".

Tapi keyakinan apa? Agaknya keyakinan yang mereka, homo sovieticus, pegang erat-erat: komunisme. "Komunisme punya sebuah proyek gila," tulis Alexievich, "yakni mengubah manusia 'lama', Adam yang tua. Dan itu berjalan…."

Itu sebabnya La fin de l'homme rouge menyidik apa yang disebutnya sebagai sejarah sosialisme "interior". Dengan kata lain, bagaimana sosialisme dialami, membentuk diri, semula tanpa dipercakapkan, sebab itulah kehidupan sehari-hari-yang akhirnya dinyatakan buntu.

Di kebuntuan itu dunia mereka mendadak berubah dan mereka merasa asing. Mereka merasa betapa absurdnya kapitalisme diterapkan di tengah kehidupan mereka. "Orang Rusia," kata salah seorang homo sovieticus, "bukan orang yang rasional ataupun pintar dagang… kontemplatif dan bukannya aktif, bisa puas dengan yang sedikit." Bagi suara ini, orang-orang Rusia memang "Bolsyewik". "Mereka tak hanya ingin hidup, mereka ingin punya tujuan. Mereka ingin jadi bagian dari sesuatu yang agung."

Terasa di sini ada sikap memilih potret diri yang ideal dalam percakapan itu. Kita memang lazim memandang diri sebagai pelawan yang punya harga diri ketika zaman sedang menyingkirkan kita. Yang tragis dari "manusia merah", l'homme rouge, yang sedang menemui akhir itu, adalah karena harus merasakan betapa utopia yang dulu telah jadi nostalgia.

Tentu seraya melupakan apa yang memberat di hati orang macam Oleksa Hai-Holovko dengan dendam Ukraina.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus