Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nasib Buruh Migran

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wahyu Susilo Sekretaris Eksekutif Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia Sepanjang tahun ini, buruh migran Indonesia menjadi "persona non-grata" di Malaysia. Mereka dianggap sebagai biang kriminalitas yang membuat suasana tak nyaman bagi penduduk di negeri jiran itu. Menurut harian The Nation tanggal 25 Januari 2002, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyatakan: "The number of Indonesians involved in crime, especially violent crime, like armed robbery was very high compared to other communities." Pernyataan ini tentu perlu dicermati. Mahathir seharusnya juga tidak menutup mata terhadap tindak kekerasan yang dilakukan aparatnya dalam melakukan operasi penangkapan dan pengusiran buruh migran. Ia juga harus sadar bahwa ada penganiayaan fisik, kekerasan, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan yang dialami buruh migran Indonesia yang dilakukan oleh majikan dan pengusaha warga Malaysia. Tak terhitung pula jumlah majikan yang tega membayar rendah (bahkan juga mengemplang) upah para buruh migran Indonesia. Padahal megah-menjulangnya Menara Petronas, Bandara Internasional Kuala Lumpur, dan Sirkuit Formula I Sepang tak lepas dari cekatannya tangan-tangan buruh pendatang yang mayoritas berasal dari Indonesia. Mereka pulalah yang mengerjakan sebagian besar perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao di sana. Peristiwa Nilai di Seremban, Negeri Sembilan, pada 17 Januari 2002—saat terjadi konflik antara buruh migran Indonesia dan Polis Diraja Malaysia yang berujung pada tindak kekerasan, perusakan, dan pembakaran—menjadi dasar legitimasi untuk mempersempit ruang gerak buruh migran Indonesia. Secara sistematis, jumlah buruh migran Indonesia dikurangi dan lapangan kerjanya dipersempit. Sementara sebelumnya mereka bisa bekerja di semua sektor, kini yang bisa ditempati hanya sektor perkebunan dan pekerja rumah tangga. Sektor lainnya ditempati buruh migran asal India, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Nepal, Burma, Vietnam, Laos, Filipina, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan. Program pengurangan jumlah buruh migran Indonesia makin kukuh dengan diterbitkannya Akta Imigresen 1154 Tahun 2002. Ini merupakan hasil amandemen atau penyempurnaan Akta Imigresen 1959 Tahun 1963. Fokus dari amandemen ini adalah penerapan hukuman fisik (cambuk rotan), kurungan (penjara), dan denda terhadap buruh migran tak berdokumen dan orang-orang yang terlibat dalam penempatannya. Aturan baru ini secara resmi berlaku sejak 1 Agustus 2002. Dalam tenggang waktu hingga 31 Juli 2002, pemerintah Malaysia memberi kesempatan untuk proses amnesti dan legalisasi. Namun, dalam waktu yang sama, pemerintah Malaysia juga mulai melancarkan Ops Nyah, sebuah operasi penertiban terhadap buruh migran tak berdokumen. Tahap awalnya ditempuh secara represif. Operasi ini dilakukan dengan pembakaran perkampungan buruh migran tak berdokumen yang biasanya terdapat di pinggiran kota, tepi sungai, dan di kawasan hutan mangrove. Setelah dimusnahkan, dilancarkanlah operasi penangkapan dan pengusiran paksa buruh migran tak berdokumen. Pelaksana operasi ini adalah Polis Diraja Malaysia, Federal Reserve Unit (semacam Kopassus), Imigrasi dan Ikatan Relawan Rakyat/Rela (semacam Pam Swakarsa yang didukung oleh Pemuda UMNO). Di-lihat dari metodenya, dalam Ops Nyah II ini sangat potensial terjadi tindak pelanggaran hak asasi manusia. Sikap Jakarta juga terasa aneh. Meski pemerintah telah mengetahui akan ada penerapan aturan imigrasi Malaysia yang represif, tak ada tindakan antisipatif. Pihak Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal RI tidak proaktif menyosialisasi kebijakan pemerintah Malaysia ini. Carut-marut ini ditandai dengan membanjirnya arus deportasi di Nunukan dan titik-titik perbatasan, tanpa bisa dideteksi sebelumnya. Akibatnya, terjadi akumulasi buruh migran deportan di Nunukan. Hingga kini pun masih banyak mereka yang bekerja di perkebunan terisolasi yang kepulangannya tertahan karena tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai kebijakan baru ini. Pemerintah Indonesia juga tidak pernah bersikap tegas mempertanyakan kasus ini kepada pemerintah Malaysia. Walau kekerasan yang dialami buruh migran Indonesia telah menyebabkan kematian (8 orang Indonesia meninggal dalam peristiwa Semenyih, April 1998, dan 6 orang meninggal dalam Ops Nyah di Sungai Langat, Klang, 18 Februari 2002), tak pernah terlontar nota protes diplomatik kepada Malaysia. Yang disampaikan malahan permakluman atas perlakuan tersebut. Sikap lembek ini pun kembali ditunjukkan Presiden Megawati saat betemu Mahathir di Bali, awal Agustus ini. Tak ada gugatan kritis terhadap sikap keras Malaysia. Bahkan masalah buruh migran pun hanya jadi bahan perbincangan sambil lalu, tanpa dihasilkan sebutir pun nota kesepahaman yang mengikat kedua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus