Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemberantasan Korupsi yang Perlu-perlu Saja

Para hakim "menyesuaikan" hukum yang justru menguntungkan koruptor. Penyebab pelemahan dalam pemberantasan korupsi.

6 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penegakan hukum atas kasus pidana korupsi melemah.

  • Para penegak hukum menyesuaikan hukuman yang justru menguntungkan koruptor.

  • Prinsip mutatis mutandis seharusnya mengoptimalkan penegakan hukum.

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika melihat tren ringannya hukuman para pelaku tindak pidana korupsi baik di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi, maupun peninjauan kembali, dapat disimpulkan bahwa semangat pemberantasan korupsi yang kuat melalui penegakan hukum telah memudar. Misalnya, masyarakat tentu masih ingat dengan jelas bagaimana "drama" persekongkolan tindak pidana korupsi yang melibatkan oknum jaksa Pinangki dan buron Joko Tjandra. Kini keduanya menikmati hukuman ringan setelah proses banding di tingkat pengadilan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi penegakan hukum tindak pidana korupsi secara kasatmata tampak sangat berbeda dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada 5-10 tahun lalu. Kala itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan khususnya lembaga peradilan sempat disegani. Masyarakat juga masih mengingat pemberatan hukuman di tingkat kasasi, pemiskinan, perampasan harta para koruptor, rekor keberhasilan seluruh tuntutan jaksa penuntut umum KPK, hingga tiadanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK.

Sebaliknya, saat ini sudah terjadi situasi yang mengkhawatirkan. Ini dimulai dari "pecah telur" tuntutan KPK dengan beberapa vonis bebas tersangka tindak pidana korupsi di tingkat pengadilan negeri, mulai dari terbitnya SP3 oleh KPK; peringanan hukuman secara signifikan di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali; hingga diperiksanya salah satu pimpinan KPK karena berkomunikasi dengan pihak yang beperkara. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, secara empiris, pemberantasan tindak pidana korupsi memang melemah.

Jika melihat kondisi di atas, jelas bahwa upaya pemberantasan korupsi telah diterapkan secara "mutatis mutandis". Mengacu pada Black’s Law Dictionary, mutatis mutandis berarti "all necessary changes having been made". Ranuhandoko (2006) menyebutkan bahwa mutatis mutandis dimaknai sebagai perubahan yang perlu-perlu. Dalam perspektif hukum, pemaknaan mutatis mutandis adalah sebagai bentuk penyesuaian aturan dan penegakan hukum pada situasi dan kondisi yang berkembang. Dengan melihat perkembangan pemberantasan korupsi pada beberapa tahun belakangan ini, jelas bahwa para penegak hukum memaknai pemberantasan korupsi secara mutatis mutandis, yang berakibat pada melemahnya pemberantasan korupsi.

Pemaknaan mutatis mutandis secara positif dalam ilmu hukum adalah penyesuaian yang dilakukan agar aturan hukum dan penegakan hukum dapat berfungsi dengan lebih efektif untuk mencapai tujuannya. Kondisi mutatis mutandis dalam pemberantasan korupsi tampak jelas pada penggunaan upaya hukum. Sebelumnya, upaya hukum mendukung upaya pemberantasan korupsi dan pemiskinan bagi koruptor untuk menghasilkan efek jera. Sebaliknya, saat ini upaya hukum dimanfaatkan sebagai celah untuk meringankan (bahkan membebaskan) para terpidana dengan berlindung di balik kekuasaan kehakiman para hakim yang mengadili perkara tersebut.

Arti "penyesuaian yang perlu-perlu" ini dalam ilmu hukum dimaknai untuk mencapai fleksibilitas hukum, tapi dalam perkembangannya di Indonesia ia mengalami penyimpangan makna dan tujuan. Kata "penyesuaian" dan "perlu" menunjukkan hubungan erat dan kuasa relasi antara oknum penegak hukum dan para koruptor. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Djoko Tjandra maupun kasus-kasus lainnya.

Kata "penyesuaian" saat ini dimaknai dengan menunjuk pada kekuasaan yang dimiliki para penegak hukum untuk memilih tindakan hukum, termasuk menjatuhkan sanksi bagi para koruptor dengan berdasarkan kekuasaan yang dimiliki. Adapun kata "perlu" dimaknai untuk menunjuk kepentingan para koruptor untuk mendapatkan keringanan hukuman maupun membebaskan diri. Dengan relasi tersebut, tampak bahwa penyimpangan makna mutatis mutandis dalam penegakan hukum atas tindak pidana korupsi justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Jika mutatis mutandis dimanifestasikan dalam bentuk vonis ringan dan bahkan vonis bebas serta tiadanya pemiskinan para koruptor, jelas hal ini akan meningkatkan perilaku korupsi itu sendiri. Selain tiadanya efek jera bagi koruptor dan masyarakat, kondisi tersebut juga dipandang menurunkan tingkat risiko bagi koruptor dan (calon) koruptor jika melakukan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diungkapkan Klitgard (1996), penegakan hukum yang tegas dan membawa sanksi serta konsekuensi yang berat bagi koruptor dan (calon) koruptor akan dipandang sebagai faktor risiko yang akan mengurangi tindak pidana korupsi.

Pemaknaan mutatis mutandis secara subyektif saat ini menunjukkan adanya kepentingan yang berkelindan antara penegak hukum dan para koruptor, sebagaimana terlihat dalam banyak kasus yang melibatkan penegak hukum dan koruptor secara bersama-sama. Masyarakat tentu masih mengingat perilaku oknum penyidik KPK yang melakukan penyelidikan secara transaksional kepada calon tersangka dalam kasus Wali Kota Tanjung Balai.

Upaya pemberantasan korupsi harus kembali diperkuat dan hal yang penting dan esensial untuk memperkuatnya adalah mengembalikan pemaknaan mutatis mutandis secara obyektif dalam implementasi penegakan hukum. Penyimpangan pemaknaan mutatis mutandis harus segera ditinggalkan oleh aparat penegak hukum. Mutatis mutandis secara obyektif dapat dimaknai sebagai penyesuaian yang didorong oleh kepentingan masyarakat luas maupun negara dan untuk keperluan masyarakat luas, sehingga tidak ada intensi subyektif yang berakhir pada penyimpangan proses penegakan hukum yang akan melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mutatis mutandis harus dikembalikan secara obyektif pada maknanya, yakni guna membuat penerapan hukum optimal sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini, tujuan itu adalah melindungi masyarakat dari ancaman perilaku koruptif sehingga penegakan hukum harus dikembalikan pada timbulnya efek jera dan hukuman yang berat bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Rio Christiawan

Rio Christiawan

Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus