Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sejumlah elite politik memasang baliho besar di mana-mana.
Cara instan untuk mendongkrak popularitas.
Perlu reputasi dan strategi panjang untuk meraih dukungan.
Bagong Suyanto
Dekan FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang makin mencemaskan, sejumlah elite politik lebih memilih agendanya sendiri. Alih-alih berfokus dan terlibat aktif meredam ancaman Covid-19, mereka malah sibuk berkontestasi dalam Pemilihan Umum 2024 dan membangun politik pencitraan melalui perang baliho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di berbagai daerah, baliho-baliho politik banyak bermunculan dan menawarkan janji sekaligus mengkampanyekan sejumlah elite politik yang berniat bertarung dalam Pemilihan Umum 2024. Syahwat untuk tampil dan berkompetisi dalam acara politik pada tahun itu membuat mereka lupa bahwa konteks waktu seharusnya dipertimbangkan.
Elite politik yang hanya memikirkan kontestasi dan popularitas tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan mereka memilah isu prioritas mana yang harus didahulukan, tapi juga memperlihatkan ketidakpekaan terhadap persoalan riil yang dihadapi masyarakat. Ketika masyarakat masih berkutat dengan ancaman dan dampak Covid-19, yang didemonstrasikan sejumlah elite politik adalah perilaku yang sama sekali tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Alih-alih melibatkan diri secara aktif dalam penanganan dampak Covid-19, memasyarakatkan dukungan atau motivasi agar masyarakat tidak patah arang, mereka menancapkan baliho di berbagai sudut kota berisi promosi keakuan diri untuk mendongkrak popularitas.
Pencitraan vs Elektabilitas
Untuk memastikan terpilih dan menang dalam pemilihan umum, banyak faktor yang menjadi pertimbangan. Cara pandang yang menyederhanakan masalah bahwa popularitas identik dengan elektabilitas jelas keliru. Banyak kajian membuktikan bahwa untuk mendongkrak elektabilitas calon dibutuhkan bukan sekadar politik pencitraan.
Sejumlah elite politik, seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, dan mungkin pula disusul tokoh-tokoh lain, sebetulnya sah-sah saja memasang baliho untuk mulai memperkenalkan diri ke masyarakat demi menyongsong pemilihan umum. Di negara mana pun, kampanye merupakan bagian inheren dari proses politik yang demokratis dan terbuka.
Di satu sisi, baliho merupakan bagian dari upaya memasarkan dan mendongkrak popularitas calon. Di sisi lain, baliho juga bisa menjadi semacam test case untuk menakar respons masyarakat dan elektabilitas calon di mata konstituen.
Seperti memasarkan produk industri budaya, baliho di berbagai sudut kota adalah bagian dari upaya mendongkrak popularitas. Siapa yang tak dikenal, maka tak mungkin akan disayang. Hal seperti inilah tampaknya yang menjadi pertimbangan sejumlah elite politik nekat memasang baliho di tengah situasi pandemi Covid-19.
Namun situasi sekarang berbeda dengan era sebelumnya, yang kampanyenya bisa dilakukan secara luring. Dalam pemilihan umum dulu, lazim pula terjadi jika popularitas kandidat terlihat dari kehadiran massa dan strategi serangan fajar. Para artis populer biasanya diundang khusus untuk bernyanyi dan menghibur massa sang calon. Dengan membagikan kaus, bergembira bersama dengan nyanyian artis pujaan, dan lain-lain, popularitas calon akan dapat melambung cepat.
Saat ini, masyarakat semakin kritis dan situasi sudah berubah. Untuk mendongkrak popularitas calon, tidak lagi bisa dilakukan secara mendadak dan hanya bermodalkan pemasangan baliho atau mengandalkan kerja buzzer, meskipun peran buzzer penting untuk menggaungkan informasi yang mendukung popularitas sang calon. Tidak ada jaminan bahwa kenaikan popularitas akan diikuti dengan kenaikan jumlah konstituen. Untuk benar-benar dapat mendongkrak dukungan publik dan meraup dukungan suara, yang dibutuhkan sebetulnya lebih dari itu.
Investasi
Untuk memastikan kenaikan popularitas akan diikuti pula dengan kenaikan jumlah konstituen, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, selain popularitas sang calon, yang tak kalah penting adalah reputasi. Untuk menggaet simpati masyarakat yang loyal, tentu yang dibutuhkan tidak sekadar popularitas sesaat, tapi juga investasi sosial-politik selama ini dari calon yang berencana ikut berkontestasi.
Seorang calon yang mempunyai rekam jejak baik dan konsisten memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat tentu tidak cukup hanya dikatakan lewat slogan atau penggalan kalimat yang dicantumkan dalam baliho. Reputasi adalah investasi jangka panjang, dan hal itu akan dilihat dalam kurun waktu yang lama. Tidak mungkin reputasi didongkrak hanya lewat program yang sifatnya dadakan. Konstituen yang loyal niscaya hanya bisa diperoleh jika seorang calon sejak awal telah melakukan kebaikan secara konsisten serta memperlihatkan kepedulian dan prinsip yang tegas, yang semuanya bukan hasil polesan sesaat.
Kedua, yang namanya konstituen sekarang ini berbeda dengan era sebelumnya. Konstituen tidak lagi bisa dibeli atau ditipu dengan janji manis kampanye. Mereka adalah orang-orang yang kritis, yang tidak lagi mudah terbujuk oleh janji palsu dan polesan citra yang sifatnya sesaat.
Memasang baliho ukuran raksasa di berbagai sudut kota menjelang Pemilihan Umum 2024 memang tidak masalah jika sang calon memiliki dukungan dana dan simpatisan yang secara ekonomi mapan. Tapi apa gunanya membuang uang begitu banyak untuk baliho jika tidak diimbangi dengan reputasi sesuai dengan harapan masyarakat yang makin kritis.
Belajarlah dari Donald Trump, yang gagal meraih kemenangan kedua dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat gara-gara ketidakpekaannya terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Para elite politik di Tanah Air seyogianya menakar diri dan tidak memperlihatkan tindakan tidak sensitif. Keinginan untuk mendongkrak citra dan popularitas secara instan malah bisa menjadi blunder yang menjerumuskan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo