Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Optimisme Organisasi Masyarakat Sipil di Era Prabowo

Ruang kebebasan sipil dikhawatirkan makin sempit. Bagaimana organisasi masyarakat sipil menyikapi kondisi ini?

17 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dalam satu dekade terakhir ini, bisa dikatakan ruang demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia mengalami penyempitan.

  • Apakah organisasi masyarakat sipil Indonesia merasa gamang dalam menghadapi menyempitnya ruang sipil di Indonesia?

  • Organisasi masyarakat sipil yang menghadiri acara ICSF ternyata lebih banyak yang memiliki pandangan yang lebih optimistis.

DI era Presiden Prabowo Subianto, salah satu hal yang menarik ditelisik adalah bagaimana organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyikapi pemerintahan baru. Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin memberikan gambaran tentang kondisi ruang sipil bagi organisasi masyarakat sipil Indonesia yang diwarisi dari satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam satu dekade terakhir ini, bisa dikatakan ruang demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia mengalami penyempitan. Democracy Index yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa posisi Indonesia mengalami kemerosotan dari 6,95 pada 2014 menjadi 6,53 pada 2023. Menurut EIU, Indonesia masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Freedom House Index, posisi Indonesia di Global Freedom Score juga mengalami kemerosotan dari 60 pada 2020 menjadi 57 pada 2024. Indonesia dimasukkan ke kategori “partly free” atau bebas terbatas.

Data Indeks Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik juga menunjukkan penurunan posisi di indeks “terjaminnya kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, dan berpendapat oleh aparat negara” dari 88,51 pada 2022 menjadi 70,11 pada 2023. Indeks untuk “pers yang bebas dalam menjalankan tugas dan fungsinya” juga merosot dari 75,92 pada 2022 menjadi 61,95 pada 2023.

Apakah organisasi masyarakat sipil Indonesia merasa gamang dalam menghadapi menyempitnya ruang sipil di atas? Pada 25-26 September 2024, sekitar 300 organisasi masyarakat sipil dari Indonesia bagian barat, tengah dan timur berkumpul di Jakarta menghadiri acara Indonesia Civil Society Forum (ICSF) yang merupakan sebuah forum kolaborasi antara lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Orang-orang yang hadir dalam pertemuan ICSF adalah para perwakilan organisasi masyarakat sipil Indonesia dari banyak bidang, termasuk hukum dan hak asasi manusia; GEDSI (gender, disabilitas, diversitas, dan inklusi sosial); ekonomi lestari; demokrasi dan tata kelola; pendidikan; kesehatan dan well-being; seni dan budaya; peacebuilding, kebebasan berkeyakinan & beragama; sumber daya alam, agraria, lingkungan, dan keadilan iklim; digital, riset, teknologi, dan inovasi; media/kebebasan pers; serta kebencanaan dan humanitarian.

Organisasi masyarakat sipil dari berbagai disiplin kegiatan ini berkumpul untuk melakukan refleksi (melihat sepuluh tahun ke belakang) dan menyiapkan skenario (melihat sepuluh tahun ke depan). Untuk melihat sepuluh tahun ke depan, mereka melakukan pengujian skenario terhadap CIVICUS Scenario Planning, yang menyajikan empat skenario kondisi masyarakat sipil: masyarakat sipil bertahan, masyarakat sipil bertumbuh, masyarakat sipil dikendalikan, dan masyarakat sipil terpinggirkan.

Pertanyaannya, dalam sepuluh tahun ke depan, skenario yang mana yang dipercayai akan terjadi terhadap masyarakat sipil di Indonesia? Di bawah ini kami bahas skenario dari yang terburuk sampai yang terbaik. Dalam skenario masyarakat sipil terpinggirkan (skenario terburuk), masyarakat sipil di Indonesia menghadapi represi politik yang ketat, pembatasan akses Internet, ruang kolaborasi dan partisipasi politik yang sangat sempit, terjadi banyak konflik politik dengan kekerasan, serta adanya pembatasan pendanaan dari dalam dan luar negeri.

Dalam menghadapi situasi demikian, masyarakat sipil telah menyepakati beberapa langkah yang bisa diambil, yakni membangun kolaborasi berkelanjutan, ekspansi berbagai ranah komunikasi, memasifkan pendidikan politik dan demokrasi warga, menggalakkan gerakan organik di masyarakat seperti gerakan "warga bantu warga", serta melakukan peningkatan kapasitas dan penguatan nilai-nilai masyarakat sipil.

Dalam skenario masyarakat sipil dikendalikan, masyarakat sipil di Indonesia menghadapi ancaman keamanan fisik dan digital, mengalami kesulitan untuk memonitor dan melakukan advokasi terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia, memiliki akses terbatas pada sumber-sumber pendanaan, serta menghadapi konsentrasi kekuasaan di eksekutif dan legislatif serta lemahnya oposisi yang menyebabkan gagalnya reformasi politik.

Menghadapi kemungkinan skenario ini, organisasi masyarakat sipil bersepakat bahwa kerja utama adalah melakukan peningkatan kapasitas dalam eksplorasi kerja sama lebih jauh dengan para pembuat kebijakan, sambil terus memberikan masukan kritis yang membangun serta membangun organisasi masyarakat sipil yang berintegritas untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap mereka. Hal yang tak kalah penting adalah membuka kolaborasi dan membangun koalisi dengan berbagai pihak dari berbagai sektor.

Dalam skenario masyarakat sipil bertahan, masyarakat sipil di Indonesia bisa mempertahankan ruang untuk berkolaborasi, mengakses sumber-sumber pendanaan meskipun terbatas, bisa berfokus pada persoalan pelanggaran HAM tertentu atau kasus-kasus impunitas yang belum teratasi, dan menghadapi pembatasan akses Internet.

Dalam situasi ini, bisa dibayangkan bahwa organisasi masyarakat sipil justru akan makin bergerak secara berkelanjutan dan makin inovatif untuk meningkatkan pendanaan, misalnya membangun sistem penggalangan dana berbasis komunitas. Dalam situasi bertahan ini, organisasi masyarakat sipil akan berusaha menjadi pemantik dan fasilitator untuk menciptakan ruang kolaborasi, membangun kepercayaan publik dan membangun wadah multisektor untuk berkolaborasi, serta mendorong produksi gagasan dari kelompok akar rumput.

Dalam skenario masyarakat sipil bertumbuh (skenario terbaik), masyarakat sipil Indonesia mempunyai cukup akses ke pendanaan dari luar dan dalam negeri, termasuk untuk memonitor dan melakukan advokasi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM; memiliki ruang kolaborasi yang memadai sehingga banyak inisiatif baru yang muncul; dan memiliki akses terhadap data digital dan informasi publik yang terbuka. Dalam kondisi tersebut, bisa dibayangkan bahwa masyarakat sipil akan membangun sistem dan mekanisme perlindungan yang komprehensif terhadap berbagai ancaman fisik maupun digital.

Dihadapkan pada empat skenario tersebut, organisasi masyarakat sipil yang menghadiri acara ICSF ternyata lebih banyak yang memiliki pandangan yang lebih optimistis. Mereka yang percaya bahwa dalam sepuluh tahun ke depan masyarakat sipil di Indonesia akan “terpinggirkan” dan “dikendalikan” hanya mencapai 0.9 persen dan 26 persen (total 26.9 persen), dibanding yang percaya bahwa masyarakat sipil Indonesia akan bisa “bertahan” dan bahkan “bertumbuh” yang mencapai 36 persen dan 27 persen (total 63 persen).

Optimisme tersebut didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dari sisi partisipan jelas terlihat adanya transisi ke generasi yang lebih muda. Generasi baby boomers tidak lagi dominan dan lebih dari separuh partisipan merupakan gabungan dari generasi milenial dan generasi Z yang berpendapat bahwa sekarang adalah waktu mereka untuk berkiprah—sehingga sepuluh tahun lagi mereka bisa ikut menentukan kebijakan publik yang menyangkut kesejahteraan mereka dan keluarga, termasuk mewujudkan lingkungan hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Kedua, berkumpulnya sekitar 300 warga sipil dari berbagai penjuru Indonesia merupakan forum yang langka dan mereka menjadikannya sebagai ajang berbagi mengenai kondisi kelembagaan, pendanaan, hubungan dengan pemerintah, dan dampak program. Dalam diskusi-diskusi kelompok, muncul keinginan yang kuat untuk menjalin kolaborasi satu sama lain. Terbukanya ruang-ruang kolaborasi ini mendorong rasa optimisme masyarakat sipil untuk bisa bersama-sama membangun masyarakat yang lebih inklusif, demokratis, dan berkelanjutan.

Ketiga, ICSF sendiri merupakan sebuah forum kolaborasi antara lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil Indonesia. Komitmen dan dukungan lembaga donor bisa dipastikan ikut membentuk rasa optimisme ketika mereka melihat sepuluh tahun ke depan. Optimisme dan semangat kolaborasi tersebut merupakan modal yang sangat berharga untuk secara bersama memperluas ruang sipil dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.



Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus