Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arya Gunawan
Beberapa waktu menjelang pemilihan kepala daerah 11 Desember 2006, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dilanda demam kampanye. Demam kampanye ternyata berarti juga demam singkatan. Sementara seluruh dunia mengenal H2O sebagai simbol senyawa kimia untuk air, di Aceh H2O adalah singkatan dari Humam-Hasbi Oke, merujuk kepada calon gubernur Humam Hamid dan wakilnya, Hasbi Abdullah. Tentu calon pemberi suara akan mudah mengingat singkatan H2O ini, meskipun membawa risiko digugatnya guru kimia oleh siswa mereka yang tak lagi percaya bahwa H2O adalah juga simbol kimia untuk air. Tim sukses pasangan kandidat lain tak mau ketinggalan, sehingga muncullah Tahan (singkatan dari pasangan kandidat Thamlicha Ali-Harmen Nurikman), Idaman (Iskandar Husen-Saleh Manaf).
Ajang kampanye ini telah menunjukkan bahwa Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang gemar akan singkatan, khususnya dalam ba-hasa tulis. Berita-berita di surat kabar sangat kuat menyiratkan ini. Harian Serambi Indonesia memuat sebuah sub-judul seperti ini: ”Terkait Kasus Mitan”. Apa maksud ”mitan”? Orang yang tak paham bisa mengira ini kekeliruan cetak; mungkin maksudnya ”mutan” (istilah dalam ilmu kedokteran/biologi yang merujuk pada perubahan yang dialami oleh sel hidup). Setelah ditelaah lebih jauh, mitan tak lain adalah jelmaan dari minyak tanah.
Tak jarang kita dibuat kagum oleh kepandaian para pencipta singkatan di Aceh ini, karena daya pukaunya yang begitu hebat sehingga membuat orang lupa bahwa itu adalah singkatan. Salah satu contoh terbaik untuk ini adalah Ladia Galaska. Dilihat sepintas, nama ini tentu elok untuk dilekatkan pada seorang perempuan. Padahal itu adalah singkatan dari Lautan Hindia-Gayo Alas-Selat Malaka, merujuk pada wilayah yang membentang dari pesisir barat Aceh (di tepi Lautan Hindia) ke sisi timurnya (di tepi Selat Malaka). Nama ini tenar sebagai nama proyek pembangunan sebuah ruas jalan yang kontroversial dan disebut-sebut merugikan negara hingga triliunan rupiah. Jika Anda iseng-iseng melakukan riset di Internet menggunakan mesin pencari, muncul cukup banyak teks yang berkaitan dengan istilah tadi. Namun hanya segelintir yang mencantumkan kepanjangannya secara lengkap.
Ada berbagai pandangan, tanpa satu kesepakatan, berkaitan dengan bagaimana sebaiknya menyikapi banjir singkatan seperti ini. Sebagian menganut pandangan bahwa di satu sisi tak ada salahnya kita membuka diri terhadap kehadiran singkatan. Sebab, pembentukan singkatan merupakan sebuah prakarsa dan kreativitas dalam berbahasa. Ia penting untuk menggerakkan perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian lagi menilai, kecenderungan asal menyingkat dan serba menyingkat hendaknya juga dicermati. Jika tidak, akan terjadi banjir singkatan, hilangnya makna kata-kata, dan tersesatnya masyarakat dalam lautan bentukan kata baru yang kelihatan asyik dieja tapi bisa membingungkan.
Belum lagi jika bicara tentang konsistensi. Penelitian dan pengembangan biasa disingkat litbang. Namun penggalan ”bang” bisa juga bermakna pembangunan (misalnya dalam singkatan Sesdalopbang yang populer pada zaman Presiden Soeharto dulu). Tengok pula singkatan pilkada, yang juga cermin dari ketakkonsistenan. Pilkada kini diterima sebagai pemilihan kepala daerah. Padahal kita juga punya singkatan pemilu, yang kepanjangannya adalah pemilihan umum. Mengapa saat menyingkat pemilihan kepala daerah kita tidak merujuk kepada pedoman yang telah melahirkan singkatan pemilu? Jadi, singkatan yang lebih tepat untuk pemilihan kepala daerah bukanlah pilkada, melainkan pemilkada.
Untuk konsistensi dalam menyingkat ini, kalangan angkatan bersenjata memiliki pedoman yang lebih jelas dan baku. Penggalan ”bang”, umpamanya, sudah pasti merujuk pada pengembangan, ”lek” pada elektronika, ”ma” untuk markas, ”den” untuk detasemen, ”ko” untuk komando. Denma Mabes Polri adalah singkatan dari Detasemen Markas, Markas Besar Ke-polisian Republik Indonesia.
Kembali ke Aceh. Di media cetak kadang kala satu kalimat memuat beberapa singkatan sekaligus. Lihat misalnya berita pada sebuah edisi harian Serambi Indonesia, yang tampil dengan judul ”Pema Unsyiah Desak Pemerintah Tuntaskan Soal Mitan”. ”Pema” adalah pemerintah mahasiswa, Unsyiah adalah Universitas Syiah Kuala. Lalu ada mitan, ya minyak tanah. Ada pula judul ”Semua Cawalkot Banda Aceh Janjikan Kesejahteraan Guru”, dan ”Cabup Abdya Kampanye Sambil ’Mandi Hujan’”. Cawalkot tentu bisa Anda tebak kepanjangannya: calon wali kota. Cabup pun tak sulit-sulit amat: calon bupati. Lantas, Abdya?
Seorang kawan dari Bandung saat berkunjung ke Aceh pada musim kampanye pemilkada ini sempat membaca sekilas judul berita, tanpa melihat rinci ke isinya, yang memuat kata Abdya tadi. Sang kawan bergumam singkat, ”Kasihan betul Pak Abdya, harus berkuyup di tengah hujan”. Kawan lain asli Aceh, yang jadi tuan rumah, menanggapi: ”Abdya bukan nama orang. Itu singkatan Kabupaten Aceh Barat Daya.”
Kawan dari Jakarta tadi hanya tersenyum kecut. ”Oh, begitu. Maklumlah, saya orang baru euy.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo