Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antoni Putra
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja kian dikebut. Presiden Joko Widodo alias Jokowi memberikan target 100 hari kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelesaikan pembentukannya. Bahkan Jokowi disebut-sebut siap memberikan dua jempol kepada DPR bila target tersebut terealisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun rencana pembentukan omnibus law tersebut mendapat banyak penolakan. Kelompok buruh bahkan sudah melakukan serangkaian aksi demonstrasi dan mengancam akan melakukan mogok kerja secara nasional. Penolakan tersebut dilakukan karena mereka menilai rancangan undang-undang itu bakal menghilangkan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pekerja.
Penolakan para buruh itu bukan tanpa alasan. Sejauh ini, sikap pemerintah dalam menyusun omnibus law tertutup dan mengabaikan partisipasi publik. Padahal, melalui pembentukan undang-undang sapu jagat tersebut, pemerintah berencana merevisi puluhan undang-undang sekaligus.
Selain dari sikap pemerintah yang tertutup, ketiadaan partisipasi publik tersebut terlihat dari komposisi satuan tugas omnibus law yang dibentuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Melalui Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019, pemerintah menunjuk 127 orang untuk menginventarisasi masalah dan memberikan masukan terkait dengan omnibus law.
Dari 127 orang tersebut, keterwakilan semua kelompok atau pemangku kepentingan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Satuan tugas itu didominasi oleh pengusaha dan politikus serta sedikit akademikus. Sementara itu, keterwakilan kelompok-kelompok yang pasti terkena dampak, seperti buruh, petani, dan nelayan, sama sekali tidak ada.
Memang Presiden Jokowi meminta draf omnibus law dibuka ke publik. Tapi itu saja tidak cukup. Membuka draf tidak dapat dijadikan alasan bahwa pembentukannya sudah partisipatif. Sebab, membuka draf yang telah ada ke publik itu namanya sosialisasi, bukan partisipasi.
Perlu dipahami bahwa antara partisipasi dan sosialisasi perlu dibedakan. Sebuah undang-undang dapat dikatakan partisipatif apabila proses pembentukannya melibatkan publik atau setidaknya para pemangku kepentingan. Pelibatan publik tidak cukup hanya dengan membuka draf yang telah ada, tapi pembentuk undang-undang harus lebih dulu menampung aspirasi, baru kemudian draf rancangan undang-undang disusun.
Bila yang dilakukan pemerintah hanya membuka draf yang telah ada, itu tidak dapat diartikan sebagai membuka partisipasi publik, melainkan hanya sosialisasi. Dalam hal sosialisasi, pembentuk undang-undang tidak lagi menampung aspirasi, melainkan mencari legitimasi agar draf yang telah dibentuk mendapat pembenaran dari publik, walaupun di dalamnya terdapat banyak pasal yang cacat karena dapat memicu terjadinya masalah setelah undang-undang itu diterapkan.
Keterlibatan publik seharusnya dilakukan sejak awal. Tidak cukup bila publik hanya dikabarkan tentang tujuan dari omnibus law dan sebagainya. Ada kebutuhan publik untuk mengetahui lebih jauh substansi pasal apa saja yang akan dibatalkan, juga pasal apa saja yang diintegrasikan ke dalam omnibus law, sehingga yang disampaikan bukan hanya judul rancangan undang-undangnya.
Selain mengabaikan partisipasi publik, sikap tertutup pemerintah rawan disusupi kepentingan oligark politik dan ekonomi. Bila tidak hati-hati, bahaya omnibus law tidak hanya berdampak pada perlindungan dan kepastian hukum pekerja, tapi juga dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, perampasan hak atas tanah, dan mengancam lingkungan hidup.
Melihat persoalan tersebut, seharusnya pemerintah tidak terburu-buru membentuk Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Pemerintah perlu lebih dulu membuka ruang partisipasi publik yang sebesar-besarnya.
Bila pemerintah terus mengesampingkan publik dalam membentuk sebuah undang-undang, sekeras apa pun usaha pemerintah untuk meyakinkan publik, semuanya hanya akan berakhir sia-sia. Semakin keras pemerintah "memaksa" publik agar menerima sebuah kebijakan tapi tanpa menjaring aspirasi, penolakan juga akan semakin keras. Sebab, yang diinginkan publik adalah suara mereka didengarkan dan diakuisisi dalam pengambilan kebijakan, termasuk dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.