Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Menteri Keuangan Agus Martowardojo meminta revisi peraturan presiden soal proyek Jembatan Selat Sunda seharusnya diapresiasi, bukan malah dicurigai. Kehati-hatian Menteri Agus terhadap proyek mercusuar itu dapat mencegah kerugian negara yang besarnya bisa mencapai triliunan rupiah.
Kendati presiden punya hak membuat peraturan, masukan dari anggota kabinet ada baiknya juga didengar. Kerisauan Menteri Agus terhadap Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda sungguh punya alasan kuat. Ketentuan ini amat tidak lazim karena menunjuk langsung PT Graha Banten Lampung Sejahtera sebagai pelaksana studi kelayakan untuk proyek jembatan senilai Rp 125 triliun itu. Sebanyak 95 persen saham konsorsium itu dikuasai grup usaha Artha Graha milik Tomy Winata. Sisanya dimiliki pemerintah Lampung dan Banten.
Ada sejumlah pasal dalam peraturan itu yang berpotensi menggerogoti keuangan negara. Contohnya pasal 25 dan 30, yang menyebutkan pemerintah akan menanggung biaya studi kelayakan PT Graha jika proyek itu batal. Wajar bila Agus emoh menjamin hal ini. Perkiraan mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu tak meleset. Belakangan, PT Graha meminta pemerintah menjamin biaya studi kelayakan sebesar Rp 3 triliun!
Yang juga mencemaskan, Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 memberikan kewenangan sangat besar kepada PT Graha. Konsorsium ini, selain sebagai pemrakarsa proyek itu, diminta merancang desain dasar dan membuat rencana kerja sama. Kewenangan super ini sangat rawan disalahgunakan. Mereka bisa tak netral dalam memenangkan peserta tender. Dampaknya, para investor asing bisa ogah mendukung proyek ini.
Sejauh ini tak ada penjelasan mengapa Presiden meneken peraturan ini dan memberikan kewenangan super kepada PT Graha. Apalagi peraturan itu merupakan langkah "mundur" dari aturan sebelumnya. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2005 justru lebih melindungi keuangan negara. Aturannya, jika proyek batal, biaya studi ditanggung swasta itu sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi pegangan.
Soal jaminan, pemerintah tidak boleh pendek ingatan. Negara pernah tekor saat harus membayar jaminan ganti rugi atas kapal tanker Pertamina pada 1974 dan proyek pipa gas senilai US$ 400 juta di Dieng Patuha pada 1997. Untuk megaproyek Jembatan Selat Sunda, jelas kita tak ingin tersandung lagi. Karena itulah sudah seharusnya Kementerian Koordinator Perekonomian mendukung usul Menteri Agus merevisi peraturan ini.
Tak perlu keahlian hukum yang canggih untuk memahami betapa peraturan itu berpihak pada PT Graha. Konsorsium ini juga kurang mustahak bila harus menerima dana jaminan studi kelayakan. Mereka mengklaim sebagai pemrakarsa proyek, tapi tidak punya studi kelayakan yang lengkap. Apalagi ide membangun Jembatan Selat Sunda itu juga sudah diusung sejak 1960 oleh guru besar teknik sipil Institut Teknologi Bandung, Sedyatmo.
Presiden tak perlu malu merevisi peraturannya sendiri. Bila hal itu tidak dilakukan, pemerintah seperti menegaskan bahwa mereka siap menanggung risiko terjadinya kerugian negara yang besarnya tak terkira, selain memang pilih kasih dalam menerbitkan peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo