Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNDANG-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak membawa sejumlah perbaikan menggembirakan. Pengadilan anak-anak yang melanggar hukum, seturut produk legislatif baru ini, wajib berfondasikan semangat perbaikan, bukan hukuman. Segera terasa jaminan perlindungannya lebih kuat ketimbang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Antara lain, ada kewajiban mufakat untuk menyelesaikan masalah di luar institusi pengadilan, bila hukuman anak di bawah tujuh tahun.
Polisi tak bisa lagi main seret, mencemplungkan bocah-bocah ke sel tahanan, hanya karena geram sandalnya hilang. Petugas hukum yang tak sudi bermusyawarah bakal dihadang ancaman pidana. Batas umur anak yang bisa diajukan ke pengadilan naik dari 8 tahun ke 12 tahun. Adapun penahanan hanya bisa dilakukan bila anak telah berusia 14 tahun. Singkat kata, poin-poin yang berintikan semangat mendidik dan memperbaiki ini, tak bisa tidak, membesarkan hati kita. Nah, di titik ini justru sikap awas perlu kita bangkitkan.
Tolong diingat, semua butir undang-undang baru dengan isi serba ideal tadi—disahkan pada 3 Juli 2012—masih tertera di kertas. "Membernyawakan"-nya melalui implementasi akan sukar tanpa kehendak politik kuat serta dukungan penuh pemerintah dan sokongan masyarakat. Kewajiban bermufakat di luar pengadilan, misalnya, memerlukan petugas penyidik yang berkualitas. Alih-alih menginterogasi, dia harus mahir membujuk dan bernegosiasi.
Idealnya, ini harus dimulai dari tingkat kepolisian sektor di wilayah kecamatan. Faktanya, ketersediaan penyidik khusus anak baru di level kepolisian resor. Itu pun jumlahnya masih amat terbatas.
Kesulitan lain adalah sarana. Selama ini kita mengenal Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)—istilah halus untuk penjara anak-anak. Sejauh ini, terbatasnya ruangan membuat anak-anak yang bisa dikirim ke LPKA hanya 2.600 orang. Sisanya, 3.900 anak, dibaurkan dengan terpidana dewasa. Selain fungsi pembinaannya mentok, mencampurkan anak-anak dengan narapidana dewasa bisa menerbitkan potensi kekerasan fisik, seksual, dan psikis, serta transfer pengetahuan kejahatan.
Sejumlah aktivis perlindungan anak pernah mengusulkan agar para bocah ini menjalani hukuman di tengah keluarga. Fungsi pengawasan dan pembinaan diatur melalui kerja sama orang tua, keluarga terdekat, institusi pendidikan, dan supervisi dari aparat yang berwenang. Ini bukan usulan mudah, mengingat anak-anak tersebut punya problem disiplin dan kekerasan. Maka muncul mazhab yang meyakini tangan besi dan disiplin baja. Mereka meyakini—melalui sederet contoh—anak-anak mudah kambuh kembali begitu diberi kebebasan.
Di sinilah pentingnya merangkul masyarakat agar terlibat aktif dalam pembinaan. "Kerja sama kolektif" memang dianjurkan oleh undang-undang ini. Di antaranya dengan melibatkan sukarelawan di semua lini, dari pegiat perlindungan anak, pekerja sosial, profesional, hingga lembaga-lembaga pembinaan swasta berpengalaman.
Pendekatannya tentu jangan cuma uang dan sarana; bikin lembaga penampungan, berikan program pembinaan, menggaji pengawas, lalu dianggap beres. Problemnya jauh lebih kompleks dari itu: menegakkan harkat anak-anak yang jatuh.
Pemerintah punya waktu lima tahun untuk menyiapkan seluruh sarana pendukung. Tapi mengapa harus menunggu lima tahun jika hal yang mustahak ini bisa disegerakan? Sebagai motor pelaksana, pemerintah perlu memberikan contoh yang baik, terutama pelaksanaan yang cepat dan berkualitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo