Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Berita Tempo Plus

Polusi Budaya

Memaki pemimpin dan merendahkannya dengan kata kasar sama dengan merendahkan diri kita sendiri.

20 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Polusi Budaya
Perbesar
Polusi Budaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ada dua jenis polusi yang ramai diperbincangkan hari-hari ini. Yang satu polusi udara di Ibu Kota Jakarta, yang sangat berbahaya untuk kesehatan. Ada yang menuding karena asap kendaraan sehingga solusinya adalah mengurangi kendaraan pribadi. Ada yang menyebutkan karena musim kemarau dan solusinya adalah membuat hujan buatan. Tapi ada yang menuding bertambahnya pusat listrik tenaga uap di daerah penyangga Jakarta yang memakai batu bara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Yang kedua adalah polusi budaya. Tak ada pengaruhnya buat kesehatan, tapi berbahaya untuk peradaban bangsa. Presiden Joko Widodo memperkenalkan polusi di wilayah budaya itu ketika memberikan pidato kenegaraan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyambut ulang tahun kemerdekaan RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Presiden Jokowi mengatakan, “Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Ya, ndak apa. Sebagai pribadi, saya menerima saja.” Lalu Jokowi melanjutkan, “Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini kok kelihatannya mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.” 

Banyak orang kaget. Sebelumnya, Jokowi pernah ditanya, apa tanggapannya terhadap kritik yang memakai kata-kata tak senonoh, seperti “bajingan tolol”. Jokowi menjawab enteng: “Itu soal kecil. Saya berfokus kerja saja.” Kesimpulannya, Jokowi tak marah. Ia, misalnya, tak mau melaporkan hal itu ke polisi sebagai pencemaran nama. Justru orang lain yang melaporkan.

Tiba-tiba menjadi serius ketika Jokowi menyinggungnya pada pidato kenegaraan. Pidato setahun sekali itu dipakai Jokowi untuk mempermasalahkan tuduhan terhadap pribadinya. Orang pun bertanya, kenapa pidato kenegaraan dijadikan curhat pribadi? Apakah Jokowi tidak konsisten karena kasus yang awalnya dianggap kecil tiba-tiba diangkat dalam pidato kenegaraan? Bukankah Jokowi menganjurkan carilah pemimpin masa depan yang konsisten agar bangsa ini terus melaju untuk maju?

Lagi-lagi kita hanya berdebat di sekitar lingkaran yang itu-itu saja. Sebagian orang berkilah Jokowi, sebagai pribadi, harus bisa memisahkan dirinya sebagai presiden. Sebagai presiden, Jokowi harus menerima kritik, betapapun kerasnya. Presiden merupakan jabatan politik dan jabatan publik. Ia digaji oleh rakyat dengan pajak. Namun, sebagian orang lagi menyebutkan, antara pribadi dan jabatan presiden tak bisa dipisahkan. Keduanya melekat karena presiden itu pemimpin bangsa. Konstitusi memang tak menyebutkan bahwa presiden adalah simbol bangsa, sebagaimana bendera dan lambang negara. Sebab, presiden adalah manusia yang tak bisa dijadikan simbol. Namun kita wajib menjaga kehormatannya karena presiden pengawal utama simbol bangsa. Foto presiden dipasang di kantor-kantor resmi, bersanding dengan wakil presiden untuk mengapit lambang bangsa ini, Garuda Pancasila, bertulisan Bhinneka Tunggal Ika. Membakar foto presiden sama menghinanya dengan membakar Garuda dan bendera merah-putih. Menghina Jokowi berarti pula menghina presiden sebagai pengawal simbol itu.

Terlepas sebagai simbol ataupun tidak, sebaiknya kita kembali ke masa lalu, menggunakan budaya santun yang disebut Jokowi mulai hilang. Pada masa lalu, kita diajarkan kepada orang tua, pemimpin, dan orang yang meninggal menggunakan kata-kata yang sopan. Kita hampir tak pernah mendengar orang yang meninggal dimaki-maki. Betapapun buruknya orang yang “dipanggil Tuhan itu”, sembari berdoa, kita hanya membicarakan hal-hal baiknya. Kalau pemimpin kita buruk, mari kita ganti dengan mekanisme yang ada, termasuk memakzulkannya di tengah jalan. Memaki pemimpin dan merendahkannya dengan kata-kata kasar sama saja dengan merendahkan diri kita sendiri. Ini polusi budaya yang tidak sehat untuk peradaban yang mulia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema. Tinggal di Bali

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus