KEBAJIKAN yang sering diajarkan ialah: jangan mencari
popularitas.
Seorang paman yang jadi pemimpin daerah di pelosok sana
mendengar ajakan ini, dan ia mengangguk-angguk. Ia lalu
menuliskan dalam lubuk hatinya semboyan
"jangan-mencari-popularitas" itu. Ia bekerja tanpa pamrih,
begitu fikirnya (setengah memuji diri sendiri, tentu). Ia selalu
bilang kepada para wartawan setempat yang kadang-kadang
mendatanginya: "Saya tidak suka publikasi, dik" -- maksudnya,
tentulah, tidak suka publisitas. Dan ia mencurigai dirinya
sendiri bila ia sudah mulai ngomong dengan wartawan, sebagaimana
ia juga mencurigai koleganya bila mereka sudah mulai sering
dimuat di koran. Sementara itu ia memang takut jangan-jangan
atasannya menilai dia teramat banyak bicara, dan dengan begitu
menjadikan ia lebih menonjol ketimbang si atasan.
Maka ia cuma berbicara seperlunya. Dan karena popularitas bukan
tumbuh lantaran koran saja, tapi juga lewat pergaulan luas
dengan masyarakat, paman ini juga membatasi diri ke situ. Ia
berhati-hati bersikap dalam kesempatan bertemu dengan orang
banyak. Ia tidak mau nampak terlalu hangat, teramat mendekat,
bergurau, berbantah ataupun menunjukkan rasa intim yang lain. Ia
bisa pura-pura tidak begitu kenal dengan orang yang sebenarnya
sudah dikenalnya. Dalam upacara, juga dalam pidato, ia
menunjukkan tidak ingin dikasih tepuk-tangan dan sambutan
meriah. Ia selalu berkata teguh: "Saya tidak ingin cari
popularitas".
Tapi pada suatu hari, tanda-tanda krisis mulai terasa di bawah
kursinya. Urusan yang harus dilakukan demikian banyak, tapi ia
tahu bahwa orang-orang yang menjadi anak-buahnya terbatas
jumlah, gaji dan pengalamannya. Ia sebenarnya membutuhkan elemen
lain dalam melaksanakan tugas jabatannya: elemen dari luar
birokrasinya. Ia membutuhkan "partisipasi masyarakat". Ia tahu
bahwa apa yang didengarnya dari Bapak Presiden benar: pentingnya
masyarakat melu handarbeni, "ikut memiliki". Tapi ia kini merasa
seperti dalam langkah yang mati.
Ia menjadi susah tidur -- terutama juga karena takut kalau
dicopot. Proyekproyek memang mulai berantakan. Ia berfikir bahwa
ia bisa saja mengadakan mobilisasi penduduk, dengan sedikit
paksaan di sana-sini, untuk mensukseskan program pembangunannya.
Tapi untuk itu pun ia tak begitu berani. Jangan-jangan ia bakal
dituduh menjadi "oknum". Ia tahu bahwa atasannya pasti tidak
suka jika ada kerusuhan, protes atau malah korban di daerahnya.
Atasannya tidak mau ada ribut-ribut
Dan ia jadi berkeringat, resah. Sebagai apa dia ini sekarang?
Birokrat? Atau pemimpin? Kepada siapa ia harus menyandarkan
dirinya? Kepada atasan? Ah, atasan tidak selalu tahu keadaannya
yang sebenarnya. Ia tak pernah berhubungan dalam garis
"solidaritas" dengan dia. Ia cuma takut. Dan untuk bersandar
kepada masyarakat ...., dia mungkin tidak pernah dikenal. Atau
lebih tepat: dia cemas tidak akan dipercaya. Ia tidak pernah
bersentuhan dengan mereka, lewat hati.
Tiba-tiba ia jadi ragu: jangan-jangan kebajikan untuk
"tidak-mencari-popularitas", untuk posisinya, bukanlah kebajikan
yang tepat. Kebajikan itu mungkin cocok untuk seorang pekerja
laboratorium, seorang peneliti, atau seorang sekretaris. Tapi
untuk dia?
Esok paginya tiba-tiba ia merasa lega. Ia membaca satu kalimat
dari Ki Ageng Suryomentaram, putera Hamengkubuwono VII yang
meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dan menjadi petani serta
filosof: "Apabila kepentingan kekuasaan itu landasannya salah,
maka ia akan merupakan hasrat menguasai orang lain. Padahal
orang berkuasa atau dipercaya, itu disebabkan karena ia
mengenakkan orang lain .... " .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini