KETIKA beberapa waktu yang lalu Pengurus Jamaah Salahuddin Universitas Gadjah Mada akan membentuk Panitia Ramadan Di Kampus (RDK) 1409 H, para mahasiswa yang berminat menjadi panitia ternyata begitu banyak. Yang diperlukan sekitar 80 orang, tetapi yang datang mendaftar lebih dari 600 orang. Padahal, mereka tidak menerima imbalan satu sen pun. Malahan sering harus mengeluarkan kontribusi sesuai dengan kemampuan kocek masing-masing. Tahun ini UGM menyaksikan RDK yang ke-14 kalinya. Dari tahun ke tahun RDK itu terus meningkat, kualitatif dan kuantitatif. Kegiatan RDK meliputi salat tarawih, ceramah keagamaan pesantren kilat, latihan kepemimpinan, diskusi panel, seminar, pasar buku murah, pentas seni, lomba mengarang, musabaqoh tilawatil Quran, sampai aksi-aksi sosial membagi pakaian dan makanan ke beberapa pelosok desa. Masalah yang diseminarkan juga beraneka ragam, sejak dari Islam dan pendidikan balita, Islam dan pengembangan ip-tek, sampai Islam dan keadilan sosial. Kegiatan RDK bukan saja terbatas di Universitas Gadjah Mada ataupun kampus-kampus lainnya di Yogyakarta, tetapi dapat ditemukan hampir di semua kampus besar di Indonesia. Fenomena kesemarakan Islam di berbagai kampus sering mengundang pertanyaan: apa yang mendorong mahasiswa berjubel memenuhi masjid kampus atau gedung olahraga kampus yang juga berfungsi sebagai masjid? Sebuah interpretasi mengatakan bahwa para mahasiswa itu mengalami semacam krisis identitas. Dalam proses modernisasi yang cepat, setiap transisi sosiologis selalu menimbulkan krisis identitas para anggota masyarakat, terutama bagi mereka yang tergolong berpikir. Di masjid kampus banyak mahasiswa merasa menemukan identitas dirinya. Mereka merasa memperoleh kedamaian batin. Agak mirip dengan tafsiran di atas adalah pendapat bahwa mahasiswa merasa dapat memegangi nilai-nilai hidup yang lebih jelas lewat aneka ragam kegiatan masjid. Penjungkirbalikan nilai-nilai sosial di tengah masyarakat sebagai ekses modernisasi dapat diatasi dengan berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang ditawarkan masjid. Pendapat lain mengatakan, kemungkinan besar membanjirnya jemaah di masjid kampus maupun meluapnya para peserta seminar pada dasarnya merupakan protes sosial. Mahasiswa merasa bahwa berbagai kebebasannya sangat dibatasi, sehingga setiap kegiatan yang menarik massa mahasiswa di kampus pada hakikatnya berfungsi sebagai protes. Ada lagi interpretasi lain yang diajukan. Para aktivis mahasiswa yang menyukai olah intelektual ternyata menemukan Islam sebagai alternatif masa depan. Mereka menganggap Marxisme sudah mentok, sudah kehabisan asap, dan tidak mampu lagi membrikan perspektif segar. Bukankah Gorbachev sendiri, dengan menggerakkan glasnost (keterbukaan), peresroika (restrukturisasi), dan demokratizatsi (demokratisasi) sesungguhnya sedang menjebol Marxisme dari dalam? Di samping itu para mahasiswa yang mengembangkan studi Islam di berbagai forum yang diselenggarakan di masjid kampus juga cenderung menolak resep-resep Barat alias liberalisme. Oleh karena itu, setiap diskusi atau seminar bertema Islam yang dihubungkan dengan hampir segala masalah kehidupan selalu menyedot massa mahasiswa. Salah satu topik yang sedang in sekarang ini adalah Islamisasi ilmu pengetahuan, satu topik yang banyak mengundang perdebatan intelektual. Hal ini merupakan sekeping contoh bahwa para mahasiswa dan pakar muslim sedang bergiat mencari perspektif Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Beberapa pendapat yang mencoba menerangkan fenomena kemeriahan Islam di kampus itu agaknya memang mengandung unsur-unsur kebenaran. Dulu ada pendapat yang mengatakan banjirnya masjid kampus dengan jemaah mahasiswa hanyalah suatu mode yang tidak mungkin bertahan lama. Namun, pendapat ini sekarang sudah terbukti keliru. Saya sendiri berpendapat, pasti ada dorongan atau motivasi kuat yang datang dari dalam ajaran-ajaran Islam sendiri. Di samping itu, sekarang ini tampaknya ada semacam transformasi intelektual di kalangan kaum terpelajar muslim. Mereka melihat Islam bukan lagi sebagai agama ritualistik dan kumpulan norma-norma formalistik dan legalistik. Mereka tampaknya mulai menangkap spirit Islam yang berwatak egalitarian beserta pesan-pesan etis dan moralnya. Barangkali, untuk meminjam istilah Bung Karno dulu, mereka sudah mulai menangkap "apinya" Islam. *** Melihat kesemarakan Islam di banyak kampus di Indonesia sekarang, orang dapat mengambil sikap yang berheda-beda. Yang sinis mengatakan bahwa kegiatan pokok mahasiswa adalah di ruang kuliah, di perpustakaan, dan di laboratorium. Mahasiswa harus menghabiskan waktunya untuk bergumul dengan buku-buku teks, tidak perlu salat tarawih dan mendengar ceramah-ceramah agama. Tidak perlu buang-buang waktu untuk urusan non-akademik. Cuma dalam kenyataan, pada umumnya para aktivis RDK mempunyai IP (Indeks Prestasi) yang lebih tinggi di atas IP rata-rata. Yang curiga membayangkan massa mahasiswa yang memenuhi masjid kampus sudah terpengaruh oleh Iran. Mahasiswa mau mengadakan "revolusi". Dulu malah ada seorang menteri yang mengatakan, adanya masjid dalam kampus dapat merusak penalaran mahasiswa. Memang kadang kala ada orang yang menderita ketakutan patologis pada kegiatan mahasiswa semacam RDK. Akan tetapi terlalu banyak yang bersikap simpatik. Kegiatan mahasiswa semacam RDK itu dinilai sangat penting untuk menanamkan rasa keagamaan, dengan berbagai dimensi moralnya, pada diri mahasiswa. Untuk menghindari produksi sarjana robot yang egoistis tanpa komitmen sosial, perlu ada proses internalisasi nilai-nilai spiritual seperti diajarkan agama. Dan RDK cukup efektif sebagai sarana untuk internalisasi nilai-nilai yang menumbuhkan jiwa kebersamaan, rasa kesetiakawanan, dan tanggung jawab. Saya pernah mendengar diskusi di antara para penyelenggara RDK UGM beberapa tahun yang lampau. Mereka mencoba merumuskan tujuan ideal kegiatan mereka. Masih segar dalam catatan ingatan saya bahwa mereka ingin membentuk diri mereka menjadi sarjana-sarjana yang berilmu, beriman, beramal, dan berakhlak. Keterangan mereka tentang RDK ini sudah tentu yang paling otentik dan otoritatif. Bila semangat keagamaan mereka dibarengi dengan ketekunan pendalaman ilmu dan pembacaan realitas secara tajam, rasanya tujuan mereka tidak akan menjadi rentetan utopia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini