Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak seharusnya polisi mengumbar drama penangkapan Vanessa Angel yang mereka tuduh menjalankan praktik prostitusi di sebuah hotel di Surabaya pekan lalu. Kalaupun benar Vanessa menjual jasa layanan seksual, polisi tak seharusnya menindak dia, melainkan muncikari yang menjadi perantara transaksi dengan jerat perdagangan manusia.
Polisi tak seharusnya pula menggerebek Vanessa yang konon sedang bersama laki-laki hidung belang yang memesannya di hotel tersebut. Bagaimanapun, Vanessa punya hak privasi di tempat privat. Polisi bisa menunggunya di luar hotel, lalu memeriksanya untuk mendapatkan bahan buat menjerat sang germo, pelaku kejahatan sebenarnya.
Dari kacamata hukum positif, sebagai manusia bebas, Vanessa punya hak atas tubuhnya sendiri. Persoalan moral adalah urusan dia dengan Yang Mahakuasa. Prostitusi menjadi kriminal jika ia melibatkan pihak ketiga, mereka yang menjadi perantara transaksi. Seperti diatur dalam hukum pidana, muncikari adalah penjahat sebenarnya karena menangguk keuntungan dari perbuatan asusila orang lain.
Polisi juga terkesan main-main dengan hanya mengungkap inisial nama pembeli jasa Vanessa. Penyembunyian itu mengundang kecurigaan bahwa polisi menjebak Vanessa hanya untuk membuat kehebohan—bukan penegakan hukum memberantas pelacuran. Mengumbar Vanessa dengan drama televisi akan berhenti pada sensasi semata. Jika polisi serius ingin memberantas prostitusi, Vanessa seharusnya menjadi saksi mahkota yang identitasnya dirahasiakan untuk membongkar jaringan di belakangnya. Cara ini bukan tak mungkin malah lebih efektif mengungkap kejahatan lebih besar, yakni korupsi. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, pelacur kerap dipakai sebagai materi suap dari kontraktor penerima proyek kepada pejabat pemerintah.
Menjadikan Vanessa tokoh utama pelacuran juga berujung pada penghakiman publik terhadap perempuan. Sama seperti komoditas jual-beli, prostitusi melibatkan penjual dan pembeli. Tak seharusnya Vanessa menanggung sendiri penghakiman publik yang mengatasnamakan moral masyarakat. Kini Vanessa tak hanya menjadi korban muncikari, tapi juga korban stereotipe budaya patriarki yang menganggap pelacuran terjadi hanya karena kerusakan moral perempuan. Ia juga telah menjadi korban pelanggaran asas praduga tidak bersalah.
Sebuah otokritik: media massa sayangnya telah pula mengamplifikasi klaim sepihak polisi. Semua cerita yang disampaikan “aparat penegak hukum” ditelan mentah-mentah tanpa sikap kritis. Penggerebekan Vanessa diterima sebagai kewajaran. Pertanyaan sederhana misalnya tak diajukan: apa pentingnya menggerebek Vanessa jika secara hukum yang mesti menanggung salah adalah sang muncikari? Yang juga menyedihkan: pemberitaan media massa menjadi bahan gunjingan para pendukung budaya patriarki di media sosial lewat pelbagai meme dan komentar.
Pelacuran adalah profesi paling tua di muka bumi. Penggunaan argumentasi moral tidak akan mengakhiri pekerjaan itu. Mengurangi pelacuran merupakan cara bijak dan realistis ketimbang berambisi menghilangkannya sama sekali. Memberantas kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan baru merupakan langkah strategis yang lebih mendasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo