Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Semoga Tahun Depan Lebih Mendingan

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIDAKNYA untuk anak-anak, baju baru adalah cara yang cocok untuk menyambut Natal. Tentu bukan kesalahan kebiasaan yang sudah berlangsung berpuluh tahun. Tapi begitulah, anak-anak merasa Natal bukanlah Natal tanpa pakaian baru. Kalau orang tua pintar memutar kemungkinan, lebih-lebih punya daya fantasi dan akal kuat, kecocokan itu bisa bertambah dengan kecocokan yang ]ain: sepasang sepatu, seperangkat mainan, buku, atau hadiah lain. Tambah pohon terang dengan lampu hiasan yang bisa berkedap-kedip. Sebaliknya kalau orang tua lagi sumpek, Natal boleh menjadi kesusahan bagi sang anak. Dari kegagalan kecil begini sering seisi keluarga gugup berkepanjangan menghadapi kenyataan. Apa boleh buat, setiap kesukaan agaknya minta ongkos yang cocok. Tema Besar Agama suku mengajarkan tema suku. Agama besar mengajarkan tema besar, seperti 'Umat Manusia', 'Keselamatan', 'Harapan','Pengadilan Akhir' dan lain-lain. Bagi anak kecil tema besar dianggap abstrak, sebaliknya bagi orang besar tema kecil nampak tidak menarik. Tema besar punya daya tarik sebab besar pula kemampuannya untuk menghibur. Tema besar sanggup menenangkan kegugupan orang dewasa tatkala mereka tak sanggup memecahkan soal-soal kecil. Kegagalan kecil selalu cenderung merongrong sepanjang hidup, sedang kegagalan besar cepat hilang ditelan waktu. Dan sejarah bagaikan kantung yang lebih banyak berisi kegagalan kecil daripada kegagalan mengatasi tema besar. Di hari Natal orang sibuk dengan tema besar Damai di bumi'. Dan menurut cerita Natal, bumi tak damai lantaran soal kecil. Ada seorang bayi lahir di kandang ternak, karena penginapan penuh sesak. Maria dan Yusuf kehabisan tempat. Lalu kesialan demi kesialan menimpa. Nasib mereka tak diperhatikan. Pengalaman semacam itu berkembang menjadi suatu tema besar. Bahkan telah ditahbiskan sebagai permulaan dari "drama penebusan ilahi". Sang bayi kudus yang terbedung kain lampin dan tergolek di pemakanan (hewan) itu telah melahirkan tema besar tentang ketiadaan damai di muka bumi. Karena manusia tak mampu lagi mempedulikan sesama. Dan hikmah Natal pun kemudian dikemukakan: bayi ini akan memecahkan teka-teki masib manusia di hari depan. Pucuk muda di pollon memberi tanda bahwa hidup bagaimanapun akan diteruskan. Demikian pula kelahiran bayi menandakan generasi demi generasi masih akan lahir. Dan Natal(N besar) bisa diartikan sebagai makna kelahiran setiap orang. Lewat perayaan Natal hendak dihidupkan optimisme bahwa kehidupan bagaimanapun akan terus berlangsung. Agamaagama besar dengan tema-tema besar memelihara dengan teklmnya optimisme ini. Yang lewat boleh lewat, tapi yang haru tak bisa dicegah munculnya dan diharapkan lebih baik. Bapak-bapak, ibu-ibu, boleh gagal tapi anak-anak harus bisa mencobanya sekali lagi. Dalam kebanyakan tradisi nenek moyang kita, anak lebih dilihat sebagai sumber income daripada tambahan anggaran belanja. Optimisme semacam ini menghasilkan tambahan anak dan tambahan anggaran. Sedang income tetap merupakan spekulasi. Berbeda dengan kepercayaan tradisional, agama-agama besar tidak mengajarkan "anak sebagai sumber spekulasi masa depan." Sang anak tidak dengan sendirinya dianggap mampu menciptakan sesuatu yang lebih baik dari orang tua mereka. Masa depan yang lebih baik tidak bisa dimulai dengan suatu kapitulasi terhadap kenyataan, lalu menganggap anak sebagai modal demi keuntungan orang tua. Anak-anak bukan alibi untuk mengaburkan kegagalan orang tua memecahkan persoalarl-persoalannya. Sesuatu yang baik tidak dengan sendirinya datang di masa depan hanya kalau orang tua sudah berhasil memiliki anak. Tema Natal misalnya, tidak berhenti pada cerita tentang kelahiran seorang bayi, tetapi bayi yang dipercayai akan menghubungkan kembali hubungan antar manusia yang telah retak. Bayi bisa lahir karena kodrat. Tapi bayi yang diperingati di hari Natal menyisipkan kesadaran bahwa 'Damai di bumi' bisa terjadi kalau sesama tidak diabaikan. Kembali ke Soal Baju Lalu ketika optimisme keagamaan semacam ini berhadapan dengan soal kecil tentang "baju" Natal, adakah ia akan memecahkan soal tersebut? Bagaimanapun optimistisnya, orang tua yang tak mampu membelikan baju alan teap begitu. Sinyokolas hanyalah cerita tentang kcboongan. Persoalan "baju" tetap di sana tan,pa jawaban. Anak-anak tetap bersedih. Tapi orang tua yang mengenal tema besar--meskipun gagal menjawab soal kecil--akan dengan sekuat tenaga berkata: 'Tidak usah kalian bersusah hati. Tahun ini tidak, tapi tahun depan kalian akan mendapatkannya. Mudah-mudahan nanti keadaan akan lebih mendingan..."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus