Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setan itu melingkar lagi

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, para ahli sosial menyarankan agar ada peningkatan indikator sosial. sedang para ekonomi menyarankan supaya kemiskinan diatasi terlebih dulu.

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARRY Oshima, pensiunan guru besar Universitas Hawaii pernah mengatakan kualitas tenaga kerja -- kerennya disebut sumber daya manusia -- adalah faktor utama yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pengertian kualitas di sini bukan semata-mata didasarkan pada pandangan yang kuantitatif, biasanya diwujudkan dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan atau dimiliki oleh tenaga kerja tersebut, tapi lebih luas dari itu: Dari 'tingkah laku' pekerja sendiri, menyangkut kebiasaan bekerja, motivasi kerja, keinginan untuk terus meningkatkan diri, berusaha membuat penemuan-penemuan baru serta semangat kerjasama yang tinggi. Koentjaraningrat, guru besar aktif pada Universitas Indonesia dalam suatu acara LIPI beberapa waktu berselang menekankan perlunya sikap hidup yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. Sikap hidup ini dimanifestasikan dalam hubungan antara manusia dengan berbagai variabel lain di sekitarnya yang mempengaruhi sikap hidup itu sendiri. Di antaranya, hubungan antara manusia dengan hidup serta manusia dengan kerja. Menurut penelitian yang pernah diadakannya, sebagian besar responden mengemukakan pandangan terhadap hidup yang pasif. Ini sebetulnya berlawanan dengan falsafah kita yang mengenal istilah 'ikhtiar'. Jadi sebetulnya kalau 'ikhtiar' ini dijalankan, sikap hidup orang Indonesia sudah cocok untuk masyarakat modern, karena 'ikhtiar' berarti aktif dan bukannya pasif. Sedang ini yang dituntut masyarakat modern. Kemudian hubungan manusia dengan kerja. Masih rendah sekali nilai yang diperoleh dalam hubungan kerja untuk kenhormatan karyanya. Kelihatannya kebanyakan tenaga kerja kita bekerja untuk sesuatu yang memang harus dikerjakannya demi hidup dan bukan untuk tujuan mempertinggi prestasi. Ini jelas tampak bila dilihat dari hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang diwujudkan dalam sikap disiplin. Pada saat ini sulit ditemui 'disiplin murni' dalam masyarakat kita. Disiplin yang ada hanyalah disiplin karena ada perintah ataupun ada pimpinan, bukan yang berdasar atas kesadaran diri sendiri. TERGERAK oleh pendapat-pendapat di atas, timbul pertanyaan: lalu bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melihat kenyataan di atas? Para ahli ilmu sosial telah menyiapkan segerobak gagasan yang tentunya agak berbeda dengan asumsi para ekonom. Pentingnya peningkatan gizi dan nutrisi mempertinggi tingkat kesehatan dan juga kecerdasan melalui program pendidikan yang lebih terarah, perluasan pelayanan jasa-jasa masyarakat seperti air minum, listrik dan lain sebagainya itu, merupakan jawaban atas pertanyaan di atas. Pendek kata, indikator sosial harus lebih disimak. Bagi mereka yang bergerak dalam disiplin ilmu ekonomi jawabannya agak lain. Dengan tidak ragu-ragu mereka menunjuk pada kemiskinan sebagai pangkal penyebabnya. Lihat saja, mereka yang miskin itu sudah pasti tidak berminat atau sebenarnya tidak punya kesempatan untuk berkarya selain daripada bekerja guna memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Apalagi untuk 'disiplin murni', wah ini jauh dari jangkauan. Coba saja tengok. Kabarnya 30% penduduk kita masih berada di bawah garis kemiskinan, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai garis kemiskinan itu sendiri. Apalagi dari golongan ini terdapat 40% yang termasuk 'kesrakat'. Lihat saja data BPS tahun 1978 mengenai angkatan kerja kita. Tampak di sana 58,9% kaum buruh serta pegawai masih memiliki upah kurang dari Rp 10.000 per bulan. Bahkan masih ada 33,6% yang hanya berpenghasilan sebesar Rp 5.000 atau kurang setiap bulannya. Dengan tingkat pendapatan yang rendah ini, wajarkah diharapkan terlalu banyak dari mereka itu? Di sini kemudian ada pertemuan antara ahli ekonomi dan para pendekat-ilmu sosial lainnya. Penghasilan yang rendah menyebabkan tingkat gizi, nutrisi dan kesehatan yang rendah pula. Dibarengi dengan kemampuan meneruskan pendidikan yang terbatas, menyebabkan produktivitas sumber daya manusia kita rendah. Bila produktivitas identik dengan pendapatan, akibatnya pendapatan juga rendah dan 'setan' itu melingkar lagi. Maka, jelas bahwa peningkatan sumber daya manusia harus ditangani oleh berbagai disiplin tanpa perlu diributkan mana yang lebih penting. Ini kalau kita masih percaya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia seperti yang dikemukakan di awal tulisan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus