HARRY Oshima, pensiunan guru besar Universitas Hawaii pernah
mengatakan kualitas tenaga kerja -- kerennya disebut sumber daya
manusia -- adalah faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pengertian kualitas di
sini bukan semata-mata didasarkan pada pandangan yang
kuantitatif, biasanya diwujudkan dengan tingkat pendidikan yang
ditamatkan atau dimiliki oleh tenaga kerja tersebut, tapi lebih
luas dari itu: Dari 'tingkah laku' pekerja sendiri, menyangkut
kebiasaan bekerja, motivasi kerja, keinginan untuk terus
meningkatkan diri, berusaha membuat penemuan-penemuan baru serta
semangat kerjasama yang tinggi.
Koentjaraningrat, guru besar aktif pada Universitas Indonesia
dalam suatu acara LIPI beberapa waktu berselang menekankan
perlunya sikap hidup yang sesuai dengan tuntutan pembangunan.
Sikap hidup ini dimanifestasikan dalam hubungan antara manusia
dengan berbagai variabel lain di sekitarnya yang mempengaruhi
sikap hidup itu sendiri. Di antaranya, hubungan antara manusia
dengan hidup serta manusia dengan kerja.
Menurut penelitian yang pernah diadakannya, sebagian besar
responden mengemukakan pandangan terhadap hidup yang pasif. Ini
sebetulnya berlawanan dengan falsafah kita yang mengenal istilah
'ikhtiar'. Jadi sebetulnya kalau 'ikhtiar' ini dijalankan, sikap
hidup orang Indonesia sudah cocok untuk masyarakat modern,
karena 'ikhtiar' berarti aktif dan bukannya pasif. Sedang ini
yang dituntut masyarakat modern.
Kemudian hubungan manusia dengan kerja. Masih rendah sekali
nilai yang diperoleh dalam hubungan kerja untuk kenhormatan
karyanya. Kelihatannya kebanyakan tenaga kerja kita bekerja
untuk sesuatu yang memang harus dikerjakannya demi hidup dan
bukan untuk tujuan mempertinggi prestasi.
Ini jelas tampak bila dilihat dari hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya yang diwujudkan dalam sikap disiplin.
Pada saat ini sulit ditemui 'disiplin murni' dalam masyarakat
kita. Disiplin yang ada hanyalah disiplin karena ada perintah
ataupun ada pimpinan, bukan yang berdasar atas kesadaran diri
sendiri.
TERGERAK oleh pendapat-pendapat di atas, timbul pertanyaan: lalu
bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dengan melihat kenyataan di atas? Para ahli ilmu sosial telah
menyiapkan segerobak gagasan yang tentunya agak berbeda dengan
asumsi para ekonom. Pentingnya peningkatan gizi dan nutrisi
mempertinggi tingkat kesehatan dan juga kecerdasan melalui
program pendidikan yang lebih terarah, perluasan pelayanan
jasa-jasa masyarakat seperti air minum, listrik dan lain
sebagainya itu, merupakan jawaban atas pertanyaan di atas.
Pendek kata, indikator sosial harus lebih disimak.
Bagi mereka yang bergerak dalam disiplin ilmu ekonomi jawabannya
agak lain. Dengan tidak ragu-ragu mereka menunjuk pada
kemiskinan sebagai pangkal penyebabnya. Lihat saja, mereka yang
miskin itu sudah pasti tidak berminat atau sebenarnya tidak
punya kesempatan untuk berkarya selain daripada bekerja guna
memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Apalagi untuk 'disiplin
murni', wah ini jauh dari jangkauan.
Coba saja tengok. Kabarnya 30% penduduk kita masih berada di
bawah garis kemiskinan, terlepas dari perbedaan pendapat
mengenai garis kemiskinan itu sendiri. Apalagi dari golongan ini
terdapat 40% yang termasuk 'kesrakat'. Lihat saja data BPS tahun
1978 mengenai angkatan kerja kita. Tampak di sana 58,9% kaum
buruh serta pegawai masih memiliki upah kurang dari Rp 10.000
per bulan. Bahkan masih ada 33,6% yang hanya berpenghasilan
sebesar Rp 5.000 atau kurang setiap bulannya. Dengan tingkat
pendapatan yang rendah ini, wajarkah diharapkan terlalu banyak
dari mereka itu?
Di sini kemudian ada pertemuan antara ahli ekonomi dan para
pendekat-ilmu sosial lainnya. Penghasilan yang rendah
menyebabkan tingkat gizi, nutrisi dan kesehatan yang rendah
pula. Dibarengi dengan kemampuan meneruskan pendidikan yang
terbatas, menyebabkan produktivitas sumber daya manusia kita
rendah. Bila produktivitas identik dengan pendapatan, akibatnya
pendapatan juga rendah dan 'setan' itu melingkar lagi.
Maka, jelas bahwa peningkatan sumber daya manusia harus
ditangani oleh berbagai disiplin tanpa perlu diributkan mana
yang lebih penting. Ini kalau kita masih percaya bahwa
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara sangat tergantung
pada kualitas sumber daya manusia seperti yang dikemukakan di
awal tulisan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini