Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Singkatan Kembar

PMK bisa penyakit mulut dan kuku, bisa juga pembangunan manusia dan kebudayaan. Apa implikasi singkatan kembar?

30 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIAT saya mampir ke warung rujak cingur di dekat kampus Universitas Indonesia, Depok, urung setelah seorang teman mengingatkan soal “bahaya PMK”. Sepersekian detik sempat muncul tanyaan “sesat” di kepala saya: apa urusan Kementerian PMK dengan rujak cingur? Tapi segera saya tangkap bahwa PMK yang dimaksud si teman tentulah singkatan Penyakit Mulut dan Kuku yang menyerang moncong sapi―“area” cingur tadi. Jadi, jelas, PMK di sini bukanlah kependekan Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, nomenklatur salah satu kementerian koordinator. [Saya mohon maaf kepada Bapak Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator PMK, atas “insiden” ini.]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Singkatan kembar memang sangat mungkin bisa menimbulkan salah sangka atau salah mengerti. Suatu kali, ini pengalaman lain, saya berkenalan dengan seorang insinyur (ilmu) kehutanan yang mengaku bekerja di TPK. Setahu saya, TPK adalah singkatan Tim Pemberantasan Korupsi pada awal Orde Baru yang sudah bubar. Tapi ternyata, jelasnya kemudian, ia bertugas di Tempat Penimbunan Kayu, yaitu area khusus di sekitar hutan tempat penyimpanan sementara kayu gelondongan hasil tebangan sebelum diolah, diangkut, dan dipasarkan.

Lain lagi dengan pengalaman seorang tetangga yang, sambil balik dari perjalanan luar kota, ingin mampir ke kantor sepupunya di BP-4 Kota T. Kepada seorang juru parkir restoran, ia bertanya lokasi alamat kantor tersebut. Dengan lancar, si juru parkir, yang tampaknya sangat paham lokasinya, memberi ancar-ancar ke arah mana sang penanya harus meluncur. Tapi tetangga saya itu kêcêlé sebab patokan yang diberikan juru parkir itu ternyata alamat kantor Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan; sedangkan yang ia cari ialah Balai Pengobatan Pemberantasan Penyakit Paru-paru―tempat sepupunya bekerja sebagai tenaga kesehatan.

Itulah risiko bahasa kita yang sugih singkatan dan akronim. Pada 1970 saja, A. Mörzrer Bruyns telah menderetkan 11.562 entri singkatan/akronim dalam Kamus Singkatan dan Akronim yang Dipergunakan di Indonesia. Sejatinya penyusun awal kamus singkatan di Indonesia ialah A. Ed Schmidgall Tellings, yang menulis Kasip: Kamus Singkatan Indonesia Pertama (1955; lihat resensi Pierre Labrousse dalam Archipel, 4/1972). Sayangnya, buku itu sulit ditemukan dan tak diketahui jumlah lema yang tercatat di dalamnya. Data lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa memuat 1.991 lema (dihitung dari Edisi III, 2005).

Jumlah tersebut tampaknya membesar karena singkatan/akronim baru terus bermunculan apalagi jika yang berjenis “folklorik”, yang biasa untuk guyonan, ikut dihitung (lihat misalnya “kerjaan” Sidik Jatmika, Urip Mung Mampir Ngguyu, 2013). Di tengah belantara abreviasi seperti itulah singkatan kembar tak terelakkan. Salah satu sebabnya ialah proses penyingkatan kerap muncul spontan saat seseorang sedang menulis artikel dan semacamnya, misalnya. Dalam situasi yang kadang kala memburu, peréka singkatan (yang baru) tak sempat, bahkan tak merasa perlu, mengingat-ingat singkatan serupa sebelumnya.

Walau tak banyak jumlahnya, munculnya singkatan kembar, disadari atau tidak oleh penciptanya, dan langsung ataupun tidak, bisa menimbulkan implikasi tertentu kemudian. Mahasiswa Universitas Indonesia peserta kuliah kerja nyata (seingat saya pada 2014) membuat kostum kaus oblong bertulisan “K-2-N UI” di bagian punggung. Rupanya, mereka tak mau lagi menggunakan kependekan KKN setelah singkatan itu juga dipakai merujuk “korupsi, kolusi, nepotisme” sejak gerakan Reformasi 1998. Kesolidan PMI sebagai singkatan Palang Merah Indonesia kini harus “pecah” dengan munculnya Pekerja Migran Indonesia yang aktual beberapa waktu belakangan.

Mungkin “tak mengenakkan” ketika singkatan kembar seolah-olah mengasosiasikan entitas kepolitikan secara antagonistis. Pada era Orde Lama ada dua singkatan sama persis tapi beda obyek: BPS kependekan Badan Pendukung Sukarnoisme sebagai intrik politik; dan Biro Pusat Statistik yang vital merupakan lembaga pemerintah non-kementerian. Ingat pemilihan umum, ingat TPS alias Tempat Pemungutan Suara; tapi juga Tempat Pembuangan Sampah yang tak ada hubungan sama sekali dengan pesta demokrasi. Lembaga-lembaga tinggi negara umumnya punya BK, Badan Kehormatan; tapi dalam pelatihan standar kompetensi kerja singkatan itu berarti “belum kompeten”.

Kalau begitu, apakah salah satu di antara singkatan kembar itu harus diganti? Tak harus, bahkan tak perlu. Yang penting ikuti saja kembali konvensi lawas yang sering terlupakan: tulis lengkap dulu frasa, istilah, nama, dan sejenisnya, sebelum dibonsai. Contoh, sebelum menuliskan berulang PBB, sebutkan apakah itu sebagai kependekan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Peraturan Baris Berbaris, Pajak Bumi dan Bangunan, ataukah Partai Bulan Bintang. Beres.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus