Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Gandhi

Di India, agama telah jadi tanda yang bengis. Mahatma Gandhi adalah bukti yang tragis soal ini.

30 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“TUHAN tak punya agama,” kata Gandhi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak aneh bila di negeri seperti India kalimat ini datang dari seorang yang dikenal alim, arif, dan adil. Agama telah jadi tanda yang bengis. Maka terbit pikiran untuk menyelamatkan pengertian “Tuhan” dari sempitnya pikiran dan jiwa yang marah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gandhi sendiri bukti yang tragis tentang persoalan ini. Menjelang akhir Januari 1948, ia ditembak mati Nathuram Godse, seorang penganut aliran ”nasionalis” Hindu. Bagi orang macam Godse, Gandhi praktis berkhianat. Sang Mahatma berkampanye untuk mengingatkan pemerintah India agar memenuhi janji kepada pemerintah Pakistan, yakni menyerahkan aset yang telah disepakati merupakan bagian negeri itu.

Gandhi—yang sebenarnya menentang ide perpisahan bekas koloni Inggris itu jadi “India” dan “Pakistan”—mengimbau Republik India agar ingat akan kewajiban moral dan kehormatan diri. Di balik itu kita bisa dengar pengertian yang sayup tentang keadilan. Tapi bagi orang macam Godse, dengan rasa terluka dan marah kepada orang Islam yang telah mendirikan sebuah negeri yang terpisah, Gandhi terlampau lunak terhadap “musuh”. Ia jadi suara yang mengganggu.

Godse datang dari sebuah pandangan yang punya akar tua tapi berbentuk baru. “Nasionalisme”-nya—mengandung kesadaran akan supremasi kasta Brahmana, yang kemudian dirawat melalui aliansi dengan raja, tuan tanah, kaum pemegang senjata, dan unsur lain kasta Ksatria—mengukuhkan diri sebagai sebuah ideologi: India adalah Hindu. Hindu adalah satu. Agama kaum mayoritas adalah wakil paling sah kebudayaan nasional India.

Orang Islam, si minoritas, selalu cemas akan suara sepihak semacam ini. Terutama sejak awal abad ke-20. Pada 1900, penguasa Inggris di wilayah yang kini disebut Uttar Pradesh, negeri bagian terbesar India, memenuhi tuntutan kaum Hindu agar bahasa Hindi, dengan aksara Devanagari, jadi bahasa resmi menggantikan bahasa Parsi yang datang dari bahasa para Maharaja Mughal. Bagi orang Islam waktu itu, langkah itu awal yang menakutkan: ditindasnya ekspresi kebudayaan mereka di negeri mereka sendiri.

Mereka bukan mayoritas, tapi mereka ikut membentuk peradaban India sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Maka mereka tak diam. Mereka ubah rasa cemas mereka ke dalam cita-cita yang kemudian disuarakan Liga Muslimin.

Di tahun 1930, pemimpin Liga Muslimin waktu itu, Mohammad Iqbal, mengumandangkan cita-cita berdirinya sebuah negeri yang khusus untuk orang Muslim. Ia sebut negeri harapan itu “Pakistan”, “tanah yang murni”.

Saya tak tahu, sadarkah Iqbal, seorang penyair dan pemikir, bahwa wilayah seperti itu butuh kekuasaan, dan mengaitkan kekuasaan dengan kemurnian sama artinya membuka pintu bagi kekerasan dan kesewenang-wenangan. Sebab tak pernah jelas siapa yang secara sah berhak menentukan “kemurnian” itu, apalagi jika itu didasarkan atas ukuran yang transendental. Apa yang harus dilakukan terhadap anasir yang “tak murni”, selain dibabat dan dicerabut?

Rasa cemas akan ditindas memang menyebabkan Pakistan berdiri. Kehendak untuk jadi sebuah negeri yang “murni” menyebabkan Pakistan—sebuah republik Islam dengan hak-hak istimewa bagi orang muslim—seakan-akan mereproduksi perlakuan tak adil yang dulu ditakutkan orang Islam sendiri.

Tapi bukan tanpa akibat buruk. Ketika ketakadilan terletak di dasar sebuah sistem politik, kekerasan pun akan tumbuh di atasnya. Mungkin itu sebabnya dalam empat dasawarsa terakhir ini problem politik Pakistan selalu diselesaikan tangan-tangan yang bersenjata.

Dengan atau tanpa senjata, kekerasan pula yang sebenarnya jadi dasar “nasionalisme” Hindu, dulu dan kini. Mereka juga hendak menegakkan “negeri yang murni”. Bila bagi mereka Hindu identik dengan India, dan India hanya murni bila ia Hindu, Islam akan dianggap sebagai pendatang yang merusak. Maka najis itu harus ditiadakan.

Demikianlah, 6 Desember 1992, kaum militan Hindu menghancurkan Masjid Babri di kota Ayodhya dan menyerang penduduk muslim di wilayah itu. Tak urung, bentrokan meledak di seluruh India.

Kaum “nasionalis” Hindu punya dalih: Masjid Babri dibangun di atas tempat kelahiran Rama. Kata mereka, sebuah candi Hindu di situs itu dihancurkan orang Islam di bawah titah Sultan Babur, pendatang dari Asia Pusat di abad ke-16. Maka aksi kekerasan di hari itu adalah tindakan menuntut hak kembali, dan juga pemurnian.

2.000 orang tewas.

Saya kira suara Gandhi tentang agama akan terdengar lebih masygul seandainya ia masih hidup dan menyaksikan kekerasan di Ayodhya itu—sebagaimana ia saksikan kerusuhan di sekitar Pemisahan (“Partition”) India-Pakistan di tahun 1947, ketika tapal batas dibangun dan dijaga, ribuan keluarga digusur atau memilih pindah, tanah ladang dipecah, kekerasan meledak, dan ribuan korban mati. Orang Islam, orang Hindu….

“Tuhan tak punya agama,” kata Gandhi.

Tapi yang menarik ialah bahwa, berbeda dari Nehru, Gandhi tak hendak membuang agama ke masa lalu. Baginya, agama adalah sumber nilai untuk membangun kehidupan bersama.

Yang tak diuraikan Gandhi ialah kemungkinan agama jadi sumber kekuatan yang tak mengatasi kekerasan dan ketakadilan, malah justru jadi kekuatan yang memperkukuhnya. Tapi mungkin Gandhi tak perlu menjawab. Kematiannya telah bicara penuh: pembunuhnya seseorang yang tak segan-segan menumpahkan darah, karena dalam dirinya datang sebuah kekuatan: fanatisme.

“Tuhan tak punya agama,” Gandhi berkata. Hari itu ia rubuh dengan tubuh berdarah dan mulut yang menyebut nama Tuhan, tapi mungkin sebenarnya ia mengatakan, “Pengorbanan tak punya agama.”

Ia memang seorang sekuler yang unik: politiknya berangkat dari nilai-nilai yang terhimbau oleh Yang Maha Adil, tapi justru itu ia mengambil jarak yang sama dari tiap agama yang hidup di dekatnya. Ia tak hendak berat sebelah. Keadilan yang mengusik hatinya tak memilih sebuah ajaran, sebuah sekte, atau sebuah tempat ibadah.

*) Catatan Pinggir ini pernah terbit di edisi 12 Maret 2007

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus