Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irwan Wisanggeni
Mahasiswa Program Doktoral Akuntansi Universitas Trisakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setiap tahun penerimaan pajak tidak mencapai target yang dipatok pemerintah. Memang penyebab utamanya adalah faktor penurunan ekonomi. Menurut Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 berada pada level 5,05 persen secara tahunan (year on year atau yoy). Angka tersebut jauh melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II 2018) yang sebesar 5,27 persen yoy. Ini juga merupakan laju pertumbuhan ekonomi yang paling kecil sejak kuartal II 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana dengan kondisi ekonomi dunia? Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 0,1 persentase poin menjadi 3,2 persen. IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 3,5 persen saja. Bahkan Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang turun ke level terendah dalam empat tahun terakhir sebesar 4 persen pada 2019.
Kondisi pelemahan perekonomian global yang merembet pada perekonomian nasional ini berdampak terhadap penerimaan pajak pada 2019. Kondisi ini tecermin dari data Kementerian Keuangan yang mencatat realisasi penerimaan pajak per Oktober baru mencapai Rp 1.018,47 triliun, atau 64,56 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577 triliun, serta masih tumbuh sebesar 0,23 persen yoy. Realisasi penerimaan pajak 2019 ada kemungkinan hanya akan berada pada angka 85-87 persen atau Rp 1.340,8 triliun hingga Rp 1.372,4 triliun.
Selain faktor struktur ekonomi, faktor lainnya yang ikut mempengaruhi penerimaan pajak mungkin adalah peraturan pajak. Upaya-upaya harus terus dilakukan agar dapat memberikan ruang perbaikan pada peraturan perpajakan.
Rencana omnibus law pajak yang sedang digodok di Direktorat Jenderal Pajak tentunya merupakan sebuah jalan keluar alternatif dalam upaya mengatasi persoalan tersebut. Omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Ada beberapa hal yang memberikan kebaruan di omnibus law, misalnya menghapus pajak penghasilan (PPh) atas dividen dalam dan luar negeri apabila dividen itu ditanamkan dalam bentuk investasi di Indonesia. Demikian juga warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri melebihi 183 hari dan sudah menjadi wajib pajak di negara tersebut tak lagi menjadi wajib pajak di Indonesia.
Ada pula keringanan sanksi pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau Masa, terutama bagi mereka yang kurang bayar atau dalam masa pembetulan SPT. Pemerintah menurunkan sanksi per bulan menjadi pro rata, yakni suku bunga acuan di pasar plus 5 persen (saat ini denda 2 persen per bulan). Sanksi denda diturunkan menjadi 1 persen untuk faktur pajak yang tidak dibuat atau faktur pajak yang tidak disetor tepat waktu.
Selain itu, perusahaan digital diharuskan memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada otoritas pajak untuk mencegah penghindaran pajak. Pemerintah menghapuskan definisi badan usaha tetap (BUT) sebagai klasifikasi wajib bagi perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Nantinya, definisi BUT tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik. Artinya, meskipun perusahaan digital tidak memiliki kantor cabang, mereka tetap mempunyai kewajiban pajak. Pemerintah akan menggunakan skema significant economic presents. Itulah kira-kira intisari dari omnibus law pajak.
Beberapa kajian menjelaskan wajib pajak cenderung akan patuh apabila ada sanksi. Hal ini senada dengan pandangan Hans Klesen, ahli hukum dan filsuf Austria, yang menyatakan bahwa sanksi adalah tindakan yang dapat memaksa dan dapat dipaksakan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh tatanan hukum. Omnibus law memberikan kejelasan yang positif sehubungan dengan sanksi pajak sehingga memberikan ruang kepatuhan bagi wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Selain pembenahan peraturan pajak, kontrol perilaku (control belief) adalah faktor terakhir yang akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Theory of Planned Behaviour menyatakan soal hal tersebut. Kewajiban membayar pajak tentu akan mempengaruhi bagaimana wajib pajak akan berperilaku: semakin mendukung ataukah semakin menghambat niat wajib pajak untuk melakukan kewajibannya. Menurut penelitian, sanksi pajak akan mempengaruhi niat wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Faktor lain yang akan menunjang dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah tarif pajak. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa penurunan tarif dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tarif pajak yang rendah akan mendorong perekonomian dengan efek berganda terhadap meningkatnya daya beli masyarakat. Tarif pajak yang menurun akan memberikan manfaat kenaikan penerimaan pajak. Teori Arthur Laffer menjelaskan, akan terjadi peningkatan terhadap penerimaan pajak secara jangka panjang jika tarif pajak turun.
Segala upaya perlu terus dilakukan agar dapat memberikan terobosan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Seperti kata pepatah Prancis, pemungutan pajak itu seperti seni mencabut bulu angsa tanpa angsanya merasakan sakit.