Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bukit-bukit di Palu telah dibabat untuk tambang galian C.
Pasir dan batunya dipakai untuk membangun IKN dan lumbung pangan di Merauke.
Proyek strategis nasional yang malah memeratakan kerusakan, bukan pembangunan.
SATU per satu bukit di Sulawesi Tengah menghilang. Batu dan pasirnya dikeruk besar-besaran untuk membangun kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dan lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan. Penambangan itu membuat bukit-bukit di Teluk Palu dan Donggala yang dulu hijau berubah menjadi bopeng-bopeng dan kerontang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2024, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Teluk Palu telah mengirim 7,4 juta ton hasil tambang galian C ke IKN dan berbagai daerah, termasuk Merauke. Galian C adalah jenis material berupa batu, pasir, tanah liat, dan sejenisnya. Dalam lima tahun terakhir, penambangan galian C di provinsi itu telah mencabik-cabik lahan seluas 100.362 hektare—sekitar tiga kali luas Daerah Istimewa Yogyakarta. Perusahaan tambang membongkar pegunungan yang hanya berjarak 100-200 meter dari ruas jalan dan permukiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat Sulawesi Tengah pantas marah karena bukit dan tanah mereka dirusak demi memenuhi ambisi pemerintah membangun IKN dan lumbung pangan—dua proyek strategis nasional (PSN) yang kurang matang perencanaannya dan lebih banyak menimbulkan mudarat ketimbang manfaat. Penambangan itu hanya menambah pendapatan pemerintah daerah dan menguntungkan segelintir elite lokal, sementara masyarakat luas harus menanggung dampak kerusakannya.
Penambangan yang merusak lingkungan itu telah memicu berbagai bencana, seperti tanah longsor dan banjir di musim hujan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, aktivitas tambang secara langsung menyebabkan banjir kerikil dan lumpur di Palu pada September 2024, yang juga merusak jalan poros Palu-Donggala—jalan penghubung utama kedua daerah.
Tanpa campur tangan perusak, daratan Palu sendiri sudah rentan mengalami likuefaksi atau pencairan tanah karena tanahnya didominasi pasir dan kerikil serta muka air tanah yang dangkal. Pulau Sulawesi juga merupakan titik pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik yang rawan gempa bumi. Penambangan yang menggerus bukit dan membabat pohon di Palu memperburuk kualitas tanah dan air, sehingga meningkatkan risiko likuefaksi dan bahkan memicu likuefaksi spontan.
Aktivitas pertambangan juga menciptakan polusi udara. Menurut Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Sulawesi Tengah, partikel debu halus PM2.5 meningkat pada Mei 2024 di kawasan Palu. Pengukuran kualitas udara dari Kantor Stasiun Pemantauan Atmosfer Global Lore Lindu-Bariri menunjukkan kadar partikel halus tersebut mencapai 69 mikrogram per meter kubik, yang tergolong tidak sehat. Abu dari galian C yang berbahaya itu ditengarai menyebabkan 2.422 orang, termasuk bayi dan anak-anak, menderita infeksi saluran pernapasan akut. Dalam jangka panjang, komplikasi yang lebih serius dapat mencakup penyakit jantung dan paru-paru.
Berbagai dampak buruk itu menunjukkan betapa rencana proyek strategis nasional telah melenceng jauh dari janji-janji pemerintah. Alih-alih memeratakan pembangunan, PSN justru memeratakan kerusakan. Tanah Sulawesi Tengah diperas habis demi membangun proyek di tempat lain tanpa memperhatikan dampaknya di wilayah asal. Proyek semacam ini harus dihentikan karena dampak buruknya sudah terlalu besar untuk terus diabaikan. ●