PENEMBAK misterius yang pertama kali saya kenal adalah John
Wayne.
Dia berdiri agak sembunyi di lorong gelap. Bedilnya siaga.
Matanya memandang ke jalan utama kota kecil di Amerika Barat
abad ke-18 itu.
Di sana, malam sepi dan tegang. Sebuah duel sedang akan
berlangsung -- suatu pertempuran yang tak seimbang: seorang
bandit bengis yang biasa dengan senjata menghadapi Jimmy
Stewart, ahli hukum yang lurus tapi kikuk dan tak pernah
menyentuh pistol.
Pada detik kedua pihak mencabut senjata masing-masing, John
Wayne membidik. Tembakan terdengar hampir berbareng. Si bajigan
roboh. Semua orang menyangka bahwa Jimmy Stewart, sang advokat,
adalah orang yang akhirnya membinasakan si penjahat (bernama
Liberty Valance) -- tapi betapa salahnya.
Dalam film The Man Who Shot Liberty Valance itu the man adalah
John Wayne: tinggi, perkasa, tak banyak omong. Ia terpaksa
menggunakan bedilnya, agar apa yang mengerikan dapat diubah,
agar Liberty Valance mati dan si advokat (juga kehidupan yang
tertib) selamat. Tapi sang hero harus bertindak tanpa diketahui
siapa pun, juga tidak oleh orang yang ditolongnya. Ia jadi
penembak misterius pertama barangkali meskipun ini cuma dalam
sebuah film yang hambar.
Kekerasan macam itu memang niscaya terjadi, demikian kata
setengah hati saya (yang telah membeli karcis dan kepingin
nonton sebuah Western yang tegang). Orang seperti tokoh yang
dimainkan Jimmy Stewart mula-mula mengecam cara penyelesaian
dengan senjata, tapi ini kan sebuah kota yang belum tertib
hukum? Dan Liberty Valance kan biang teror?
Akhirnya, sang advokat toh harus mencabut pistol. Ia turun ke
sebuah duel. Ia memang sebenarnya bukan orang yang menghabisi
Liberty Valance, tapi pada saat ia memutuskan untuk berduel, ia
praktis telah menghalalkan jalan kekerasan yang lama jalan
"Daerah Barat" yang ganas.
Namun benarkah itu yang dihalalkan cerita ini? Setengah hati
saya mengatakan ya, tapi setengahnya lagi bilang tidak. Seperti
dalam hampir tiap film Western, seperti dalam High Noon atau
Gunfight at the O.K Corral, yang terjadi, (ketika jalan sepi dan
dua pihak berhadapan untuk saling dor), ialah suatu "kesenian".
Sang jagoan tak sekadar melakukan kekerasan, karena si musuh
juga bersiap dengan senjata -- suatu "equalizer" -- untuk
membela diri dan punya kemungkinan menang. Seandainya Liberty
Valance dan segala tokoh "pihak sana" tidak berpistol, unsur
"kesenian" akan hilang. Film Western akan memuakkan.
Sudah tentu ada saudara yang tak setuju dengan pendapat seperti
itu. Buat penonton, yang nampak memang cuma ketegangan dan
keterampilan -- seperti ketika kita nonton Wimbledon. Tapi bagi
yang berjalan menghadapi musuh, pengalaman basis di ulu hati dan
urat saraf adalah pengalaman kekerasan semata: membunuh atau
dibunuh. Titik.
Si pelaku, pada detik seperti itu, tak menghayati "kesenian" apa
pun. Pada akhirnya toh kepandaian bertempur Musashi, dalam kisah
samurai Jepang yang kini diserialkan di Kompas itu, adalah cara
untuk tetap hidup dalam proses yang mengerikan. "Jalan pedang"
yang ditempuhnya hanyalan kata penghalus untuk kehidupan antara
dibabat atau membabat, dipancung atau memancung, disodet atau
menyodet. "Kitab Lima Cincin" yang ditulisnya tak lain sebuah
buku petunjuk: bagaimana untuk jadi brutal dengan sistematis.
Sebab bukankah itu memang yang diperlukan dalam hidup yang
nyata? Dalam kehidupan kita sehari-hari, apa boleh buat: yang
menang pada akhirnya yang benar. Might is right. Sejak kita
bersekolah di SD -- dengan Pak Guru yang sangat berkuasa dan
karena itu selalu benar -- kita sudah diajar bagaimana celakanya
berada dalam posisi yang cuma menampung ludah orang.
Maka tak heran bila kita sendiri pun, dalam kehidupan
sehari-hari, suka melamun kepingin jadi John Wayne, sang
penembak misterius. Terutama ketika kita mengkal, merasa
digampari, diteror, dan disikang-sikang.
Tapi memang ada peradaban, yang melunakkan wajah kita ke luar.
Ada memang rumusan nilai-nilai luhur dan penataran P4, yang
memberitahu agar kita tidak cepat naik darah, mencintai harmoni
dan orang sabar dikasihani Tuhan. Ada memang buku-buku aneh
tulisan Karl May, yang berkisah tentang "Daerah Barat yang
biadab" dan sang jagoan, Old Shatterhand, toh tak mau membunuh
siapa pun biarpun dia penembak ulung.
Ada juga sesuatu yang mungkin naluri, untuk memahami: bahwa bila
setiap orang bertindak seperti John Wayne atau Clint Eastwood
dalam film, hidup akan tambah sukar bagi anak kita. Soalnya
kemudian siapa yang berhak jadi Clint Eastwood dan siapa pula
yang memberi hak demikian.
Jawabannya mungkin sukar. Tapi tontonlah satu seri panjang film
silat dan baca koran tiap pagi: might is right. Yang kuat yang
menang, dan setelah itu, segala ukuran bisa saja dibestel dari
warung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini