Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tentang penembak misterius

Kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari, kita melamun ingin menjadi penembak misterius. tapi memang ada peradaban yang memberitahu kita agar tak cepat marah. dengan demikian kehidupan tak tambah sukar.

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENEMBAK misterius yang pertama kali saya kenal adalah John Wayne. Dia berdiri agak sembunyi di lorong gelap. Bedilnya siaga. Matanya memandang ke jalan utama kota kecil di Amerika Barat abad ke-18 itu. Di sana, malam sepi dan tegang. Sebuah duel sedang akan berlangsung -- suatu pertempuran yang tak seimbang: seorang bandit bengis yang biasa dengan senjata menghadapi Jimmy Stewart, ahli hukum yang lurus tapi kikuk dan tak pernah menyentuh pistol. Pada detik kedua pihak mencabut senjata masing-masing, John Wayne membidik. Tembakan terdengar hampir berbareng. Si bajigan roboh. Semua orang menyangka bahwa Jimmy Stewart, sang advokat, adalah orang yang akhirnya membinasakan si penjahat (bernama Liberty Valance) -- tapi betapa salahnya. Dalam film The Man Who Shot Liberty Valance itu the man adalah John Wayne: tinggi, perkasa, tak banyak omong. Ia terpaksa menggunakan bedilnya, agar apa yang mengerikan dapat diubah, agar Liberty Valance mati dan si advokat (juga kehidupan yang tertib) selamat. Tapi sang hero harus bertindak tanpa diketahui siapa pun, juga tidak oleh orang yang ditolongnya. Ia jadi penembak misterius pertama barangkali meskipun ini cuma dalam sebuah film yang hambar. Kekerasan macam itu memang niscaya terjadi, demikian kata setengah hati saya (yang telah membeli karcis dan kepingin nonton sebuah Western yang tegang). Orang seperti tokoh yang dimainkan Jimmy Stewart mula-mula mengecam cara penyelesaian dengan senjata, tapi ini kan sebuah kota yang belum tertib hukum? Dan Liberty Valance kan biang teror? Akhirnya, sang advokat toh harus mencabut pistol. Ia turun ke sebuah duel. Ia memang sebenarnya bukan orang yang menghabisi Liberty Valance, tapi pada saat ia memutuskan untuk berduel, ia praktis telah menghalalkan jalan kekerasan yang lama jalan "Daerah Barat" yang ganas. Namun benarkah itu yang dihalalkan cerita ini? Setengah hati saya mengatakan ya, tapi setengahnya lagi bilang tidak. Seperti dalam hampir tiap film Western, seperti dalam High Noon atau Gunfight at the O.K Corral, yang terjadi, (ketika jalan sepi dan dua pihak berhadapan untuk saling dor), ialah suatu "kesenian". Sang jagoan tak sekadar melakukan kekerasan, karena si musuh juga bersiap dengan senjata -- suatu "equalizer" -- untuk membela diri dan punya kemungkinan menang. Seandainya Liberty Valance dan segala tokoh "pihak sana" tidak berpistol, unsur "kesenian" akan hilang. Film Western akan memuakkan. Sudah tentu ada saudara yang tak setuju dengan pendapat seperti itu. Buat penonton, yang nampak memang cuma ketegangan dan keterampilan -- seperti ketika kita nonton Wimbledon. Tapi bagi yang berjalan menghadapi musuh, pengalaman basis di ulu hati dan urat saraf adalah pengalaman kekerasan semata: membunuh atau dibunuh. Titik. Si pelaku, pada detik seperti itu, tak menghayati "kesenian" apa pun. Pada akhirnya toh kepandaian bertempur Musashi, dalam kisah samurai Jepang yang kini diserialkan di Kompas itu, adalah cara untuk tetap hidup dalam proses yang mengerikan. "Jalan pedang" yang ditempuhnya hanyalan kata penghalus untuk kehidupan antara dibabat atau membabat, dipancung atau memancung, disodet atau menyodet. "Kitab Lima Cincin" yang ditulisnya tak lain sebuah buku petunjuk: bagaimana untuk jadi brutal dengan sistematis. Sebab bukankah itu memang yang diperlukan dalam hidup yang nyata? Dalam kehidupan kita sehari-hari, apa boleh buat: yang menang pada akhirnya yang benar. Might is right. Sejak kita bersekolah di SD -- dengan Pak Guru yang sangat berkuasa dan karena itu selalu benar -- kita sudah diajar bagaimana celakanya berada dalam posisi yang cuma menampung ludah orang. Maka tak heran bila kita sendiri pun, dalam kehidupan sehari-hari, suka melamun kepingin jadi John Wayne, sang penembak misterius. Terutama ketika kita mengkal, merasa digampari, diteror, dan disikang-sikang. Tapi memang ada peradaban, yang melunakkan wajah kita ke luar. Ada memang rumusan nilai-nilai luhur dan penataran P4, yang memberitahu agar kita tidak cepat naik darah, mencintai harmoni dan orang sabar dikasihani Tuhan. Ada memang buku-buku aneh tulisan Karl May, yang berkisah tentang "Daerah Barat yang biadab" dan sang jagoan, Old Shatterhand, toh tak mau membunuh siapa pun biarpun dia penembak ulung. Ada juga sesuatu yang mungkin naluri, untuk memahami: bahwa bila setiap orang bertindak seperti John Wayne atau Clint Eastwood dalam film, hidup akan tambah sukar bagi anak kita. Soalnya kemudian siapa yang berhak jadi Clint Eastwood dan siapa pula yang memberi hak demikian. Jawabannya mungkin sukar. Tapi tontonlah satu seri panjang film silat dan baca koran tiap pagi: might is right. Yang kuat yang menang, dan setelah itu, segala ukuran bisa saja dibestel dari warung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus